KENDARINEWS.COM–Jelaga tipis menguar dari dalam bilik dapur gudang tua. Dinding yang mulai keropos dan memudar itu seolah tak mampu menyembunyikan suasana riang penuh semangat para perempuan yang sedang meracik bumbu dan membersihkan ikan tuna. Sinar matahari yang merayap melalui celah jendela kayu, berpadu dengan aroma rempah dan tuna segar dilambari sesekali gelak tawa sempurna menggambarkan kebersamaan yang erat.
Gudang sederhana itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya rumah produksi bernama “Abon Ingkita”. Tembok usang yang menjadi ruang penuh cerita, kerja keras dan harapan akan rezeki yang berkah.
Kondisi 5 tahun lalu itu nampak tak jauh berbeda dengan saat ini. Hanya lokasinya yang berbeda, namun semangatnya masih tetap sama. Dengan tipikal suasana pesisir yang terik siang itu, Kamis (14/11/2024), di balik ruangan sederhana yang nampak bersih, 3 perempuan paruh baya berapron (celemek) hijau, mengenakan masker, terlihat beriringan mengayunkan sendok besi di atas wajan besar.
Mereka sibuk mengolah bahan baku tuna menjadi abon ikan berkualitas. Kendati tidak terlahir di sana, Desa Sampuabalo selalu ada di dalam benak masa kecil saya. Kekal dalam ingatan saya bagaimana ketangguhan perempuan di sana mengambil peran sebagai tulang punggung ketika ditinggal pihela (berlayar) oleh suaminya.
Seorang diri, mereka menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Kadang kala mengambil alih menjadi sandaran yang harus menemukan segenap kearifan dan kebijaksanaan. Mereka menerima estafet sebagai kepala keluarga yang wajib memenuhi kebutuhan rumah tangga. Maka, perpisahan yang tak terukur dan kerasnya kehidupan pesisir menempa daya hidup para mowine (perempuan) di Sampuabalo.
Itulah mengapa saat dirundung “perang parang” beberapa tahun lalu, kalangan perempuan tidak kekurangan inisiatif untuk memulai gerakkan pemberdayaan. Semua bermula ketika 20 orang kaum ibu-ibu urun tenaga dan menamai diri sebagai kelompok Ingkita berinisiatif memproduksi Abon Tuna. Dalam etnis Buton, Ingkita bermakna; kita atau ujaran penghormatan bagi seseorang.
Kelompok ini tumbuh organik dari semangat kaum perempuan untuk membantu ekonomi keluarga secara gotong royong. Gayung bersambut, niatan itu sekaligus memudahkan nelayan ikan tuna mengakses pasar. Home industry Ingkita memulai petualangannya dengan modal awal bersumber dari kantong pribadi, sebesar Rp20.000 per orang, hingga terkumpulah total sebanyak Rp400.000.
Modal itu pun digunakan untuk membeli tuna tangkapan nelayan setempat yang kesulitan memasarkan hasil tangkapannya.
“Waktu itu saya rasakan ekonomi sedang lesu-lesunya. Belum lagi ancaman pandemi di depan mata. Kami bingung mau bikin apa ketika itu,” kenang Hasida, sapaan akrab Waode Hasida, sang inisiator home industry Ingkita. Pengolahan abon ikan tuna awalnya untuk memenuhi kebutuhan domestik bagi warga kampung saja.
Dalam perjalanannya, anggota Ingkita berinovasi dan mengembangkannya ke sektor industri mikro. Tujuannya agar berkontribusi secara ekonomi. “Ikhtiar merambah sektor industri mikro muncul setelah produk abon ikan tuna Ingkita menuai apresiasi positif dari warga,”ungkap Hasida yang telah 5 tahun membersamai Ingkita.
Selain menyediakan pasar bagi nelayan lokal, Ingkita membuat abon yang bersumber dari jenis ikan laut pelagik karena memiliki kandungan nutrisi yang baik. Tuna misalnya memiliki kadar protein berkualitas tinggi, yaitu sekitar 23 gram protein per 100 gram daging tuna. Juga mengandung lemak sehat, vitamin, mineral, rendah kalori dan karbohidrat.
Metode pengolahan dengan keterampilan teknik kukus yang dikuasai para mowine di Sampuabalo, dapat menjaga kandungan protein tetap tinggi sehingga membuat rasa kenyang lebih lama jika dikonsumsi. Produksi abon tuna masih dilakukan secara tradisional, mulai dari proses penangkapannya yang ramah lingkungan oleh nelayan tangguh Sampuabalo sehingga kualitasnya terjamin, hingga masuk tahap pengolahan dan pengemasan yang dilakukan secara manual dan hati-hati oleh tangan-tangan terampil mowine Sampuabalo.
Seiring waktu, tata kelola komunitas Ingkita menunjukan profesionalisme. Kerja keras ibu-ibu berhasil. Mereka mendapat upah dari keuntungan penjualan. Secara rata-rata, dalam satu siklus bisa 5 kali produksi. Tiap kali produksi dapat menghasilkan 10 kilogram abon tuna yang dikonversi menjadi 100 pcs abon tuna yang telah dikemas. Dengan harga jual Rp30.000/pcs para anggota bisa memperoleh pendapatan harian berkisar Rp100.000-Rp200.000.
Mungkin nilai itu kecil, tapi bagi ibu-ibu Ingkita, jumlah tersebut jadi sumber penghasilan yang berarti, terutama yang berperan sebagai tulang punggung perekonomian keluarga. Demi memenuhi standar kebersihan, sebagian profit yang didapat digunakan membenahi fasilitas dan mengadakan peralatan baru.
Berkat komitmen serta kegigihan dari para anggotanya, di tahun 2022 Pemerintah Kabupaten Buton melalui Dinas Perindustrian mengucurkan bantuan dengan membangun fasilitas Rumah Produksi Olahan Ingkita yang lebih representatif, layak dan memenuhi standar.
Setelah berpindah, rumah produksi itu menjadi markas baru para perempuan desa berpadu menciptakan sajian kuliner khas bercita rasa bahari. Pada 2023, Abon Tuna Ingkita telah resmi tersertifikasi halal dan telah memperoleh izin edar untuk Makanan Dalam (MD) dari BPOM RI.
Pengakuan tersebut mendongkrak kepercayaan diri anggota home industry Ingkita bahwa yang mereka kerjakan mendapat kepercayaan dari khalayak. Rumah Produksi Ingkita pun bertransformasi. Pelan-pelan menebar jala manfaat yang lebih luas. Tidak saja membantu dalam aspek perekonomian, tetapi tumbuh menjadi wadah peningkatan kapasitas dan media pembelajaran.
“Kami di sini tidak hanya bekerja. Kami juga belajar, menabung, dan menguatkan diri bersama,” ujar Hasida bersuara lirih.
Dalam wadah ini juga kalangan perempuan mendapat pelatihan keterampilan, utamanya menyangkut pengelolaan keuangan rumah tangga dan manajemen usaha kecil. “Kadang setiap bulan kita rutin adakan pertemuan, saling berbagi informasi atau mendiskusikan segala perkembangan yang ada, bahkan Ingkita juga punya sistem simpan pinjam. Jadi anggota bisa menabung dan dapat pinjaman,” tegas Hasida saat ditanya perihal peran pemberdayaan.
Sedikit demi sedikit, gerakan pemberdayaan Ingkita berkontribusi meningkatkan literasi keuangan kaum perempuan di Sampuabalo. Sistem simpan pinjam yang diterapkan memberikan pengalaman praktis dalam manajemen finansial, menabung hingga merencanakan pengeluaran.
Hasida berkisah, bahwa langkah-langkah progresif yang telah dijalankan masih menemui sejumlah rintangan. Kendala itu salah satunya bagaimana memperluas daya jelajah pemasaran produk abon tuna melalui penetrasi digital marketing. Saat ini, distribusi abon tuna Ingkita menjangkau luar daerah. Untuk memperkenalkan abon tuna khas Sampuabalo, Ingkita menjalin kemitraan strategis dengan mini-market dan agen-agen penjualan di kota terdekat; Baubau dan Pasarwajo. Sejumlah orderan bahkan pernah datang dari luar seperti Ternate, Morowali, Morosi dan Jakarta.
Hasida jujur mengakui, Ingkita masih sangat bergantung dengan gaya pemasaran konvensional dan sampai saat ini belum mempunyai divisi khusus untuk memanfaatkan platform marketplace. Ia memaklumi, sebab hampir seluruh kaum ibu yang datang dari generasi X di kampung itu adalah digital outsiders. Tetapi, bukan perempuan Sampuabalo namanya jika harus menyerah dengan keadaan.
Menanggapi situasi yang tak berpihak, Hasida menggandeng ibu-ibu yang lain gencar membangun relasi baik dengan pemerintah maupun NGO atau komunitas-komunitas yang concern dengan pengembangan ekonomi kreatif. “Saya harap dengan membangun jejaring kami bisa dapat akses pelatihan dan bimbingan untuk membantu meningkatkan keterampilan pemasaran online, agar produk kami bisa go digital dan bersaing di pasar yang lebih luas,” kata Hasida optimistis.
Selain abon, ada beberapa jenis olahan tuna yang telah dibuat di rumah produksi Ingkita, antara lain; pentol tuna, kerupuk tuna, sambal tuna, stik, kenta dhole, dan stik rumput laut. Hasida berharap produk Ingkita dapat menjadi pangan alternatif dan icon oleh-oleh dari Kabupaten Buton. Ia berhasrat, kelak suatu ketika, Ingkita bisa membuka outlet khusus bagi produk-produk Industri Kecil Menengah (IKM) di pusat-pusat keramaian kota. “Jadi di situ, bukan hanya produk olahan tuna Ingkita saja yang basisnya di Sampuabalo, tapi ada produk buatan dari desa lain juga, supaya mereka punya ruang pasar yang jelas dan berkelanjutan,” ucapnya.
Sebagai sosok yang intens bergelut dalam dunia pemberdayaan, Hasida ingin semua produk, mahakarya dan kreatifitas IKM di Buton dapat dikenal dan dinikmati oleh publik secara luas. Ia meyakini setiap karya yang lahir dari kegigihan selalu memiliki cerita dan membawa sebongkah harapan dari mereka yang membuatnya.
Sampai sekarang, semangat Hasida dan ibu-ibu seperjuangan belum kendur untuk mengangkat martabat dan pamor kampung yang mereka cintai melalui komoditas tuna olahan. Ia bersama Ingkita menegaskan kembali doktrin mowine Sampuabalo yang pantang menyerah dan tangguh. Tidak menyerah oleh keadaan. Pelan-pelan namun pasti mereka menemukan kekuatan, membangunnya dari bawah dan menjadikan tiap usaha sebagai kebanggaan kolektif. (Adv)