Susno Duaji jadi Saksi Ahli di Sidang Supriyani, Ini Pemaparannya

KENDARINEWS.COM—Sidang kasus yang melibatkan guru honorer Supriyani di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo telah memasuki hari kelima, Senin (4/11).

Di persidangan kali ini, kuasa hukum terdakwa menghadirkan dua saksi ahli, mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol (Purn) Susno Duadji dan Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel.

Tak hadir langsung, keduanya memberi kesaksian secara virtual, di hadapan majelis hakim.

Dalam sidang tersebut , mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji memberikan kesaksian yang menyoroti prosedur hukum. Salah satunya terkait pengumpulan barang bukti. Menurutnya, penyitaan barang bukti tidak boleh dilakukan sebelum adanya laporan resmi kepada pihak kepolisian.

“Apabila suatu barang bukti disita sebelum adanya laporan Polisi, upaya penyitaan itu tidak sah. Batal demi hukum. Bukan barang buktinya tapi upaya paksa itu tidak dilindungi undang-undang. Prosedurnya tidak sah,” ungkapnya.

Lebih lanjut ia berbicara terkait prosedur visum. Susno menyebut, yang berwenang meminta visum adalah penyidik yang menangani perkara terkait. “Penyidik yang berwenang adalah penyidik yang mendapat surat perintah untuk menyidik perkara itu. Bukan sembarang penyidik,” ujarnya.

Kemudian, sambungnya, yang membuat Visum et Repertum adalah dokter forensik. Artinya Visum et Repertum itu adalah produk dari ahli forensik dalam hal ini dokter forensik.

“Persoalannya, kalau dari visum yang dibuat oleh ahli forensik dalam hal ini dokter forensik, itu tidak jelas apa maknanya, maka penyidik dapat memanggil si pembuat Visum et Repertum, untuk dimintai keterangan,” terangnya.

Selanjutnya Susno menerangkan terkait keterangan anak. Ia menegaskan bahwa keterangan anak bukanlah keterangan saksi.

“Keterangan anak itu, manakala bersesuaian, keterangan anak itu kan tidak disumpah, bisa sebagai tambahan. Tapi keterangan anak itu bukan lah alat bukti. Karena anak tidak sah, tidak bisa dijadikan saksi yang disumpah,” jelasnya.

Dijelaskannya, apabila keterangan anak tidak berkesesuaian, maka itu tidak ada gunanya. “Jangankan keterangan anak, keterangan orang tua yang sudah 67 tahun saja kalau tidak bersesuaian, tidak ada gunanya,” tuturnya.

Susno menyebut, bersesuaian pun keterangan saksi, tanpa didukung bukti lain misalnya forensik maka itu tidak ada gunanya juga.

“Keterangan saksi walaupun seribu, kalau hanya saksi, nggak ada gunanya. Apalagi keterangan anak, apalagi keterangan anak tidak bersesuaian, itu bukanlah alat bukti,” terangnya.

Kemudian, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya, melainkan harus disertai alat bukti lain yang sah.

“Keterangan terdakwa itu sangat lemah. Apalagi keterangan terdakwa didapat dengan cara yang tidak sah. Misalnya dengan memberikan janji, atau dengan cara-cara tidak sah,” ungkapnya.

Lebih lanjut ia juga menanggapi, apabila orang tua korban yang merupakan anggota Polri tetapi bukan penyidik, namun terlibat dalam proses penyelidikan maupun penyidikan.

“Itu ngawur, tidak semua anggota Polri adalah Reserse, tidak semua Reserse adalah anggota penyelidik atau penyidik, dan tidak semua penyelidik atau penyidik itu mendapat tugas. Yang bisa melakukan tindakan tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah aparat polisi yang bertugas di reserse dan diberi surat perintah,” bebernya.

Tak hanya itu, Susno juga diminta menjelaskan terkait keterangan Saksi de auditu. Yakni saksi yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain. Yang pada dasarnya tidak dapat diterima sebagai alat bukti.

“Saksi de auditu itu tidak boleh (alat bukti, red), saksi ‘katanya’, saksi ‘cerita’. Saksi itu (hukum pidana, red) adalah yang melihat, mengetahui langsung dan sebagainya yang menyaksikan peristiwa itu. Bukan yang mendengar, bukan yang mendapat cerita. Saksi de auditu itu tidak ada nilainya,” jelasnya.

“Saksi yang mengatakan, mendengar, melihat, dan melihat, manakala bertentangan satu sama lain, itupun nggak ada nilainya. Karena saksi itupun bisa saja direkayasa. Keterangan saksi lemah jika tidak didukung alat bukti lain,” ujarnya.

Lebih dalam dari itu, Susno Duadji juga menanggapi sikap Jaksa Penuntut Umum terhadap berkas perkara yang diterima dari kepolisian.

“Dalam Pidana itu, yang dicari adalah kebenaran materil bukan kebenaran formal. Jadi bukan kelengkapan berkas, tapi kita awali dahulu dari keterangan saksi. Nilai keterangan saksi secara kualitas memenuhi standar hukum apa tidak,” tegasnya.

Kemudian melihat alat bukti, apakah bersesuaian dengan hasil yang didapatkan.

“Misalnya alat bukti yang digunakan adalah senjata api, maka hasilnya berupa luka tembak. Tetapi jika hasilnya berupa luka sayatan, berarti itu tidak bersesuaian dengan peristiwa, berarti itu gugur,” tuturnya.

Begitu pula pada alat bukti visum, jika tidak bersesuaian, maka alat bukti berupa visum itu tidak mendukung peristiwanya. Termasuk bukti lainnya, bersesuaian apa tidak.

“Termasuk keterangan tersangka, apakah dia menolak atau mengakui. Jika mengakui, kita nilai, apakah pengakuan itu didapatkan secara sah sesuai ketentuan hukum, atau tidak sah,” kata Susno Duadji.

Dirinya menegaskan bahwa Jaksa memiliki kewenangan sangat besar dalam menerima atau menolak suatu berkas perkara.

Suasana persidangan berlangsung dinamis, Kuasa Hukum Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim melontarkan beragam pertanyaan sesuai keahlian saksi

Diketahui, usai mendengarkan keterangan dari dua ahli, sidang tersebut dilanjutkan dengan menghadirkan saksi lainnya yakni Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman yang mengungkapkan terkait dugaan adanya permintaan uang dari oknum agar kasus Ibu Supriyani tidak dilanjutkan. (ndi/kn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *