KENDARINEWS.COM–Pesta demokrasi sebentar lagi. Beragam strategi politik diramu dan ditempuh politisi yang tampil bertarung di Pemilihan Legislatif, maupun Pilkada. Selain “menjual” track record dan investasi sosial, gerakan yang dibangun pun kerap membawa gerbong politik identitas.
Pengamat politik Sultra, Prof.Eka Suaib mengatakan, politik identitas merupakan karakter pemilih yang primordialisme. Artinya, menjatuhkan pilihan berdasarkan asas ikatan tertentu baik dari aspek ras, etnis, agama maupun bahasa. Fenomena pemilih demikian masih begitu kental di Sultra yang sumber awalnya diperankan oleh para elit partai politik (parpol) untuk menarik simpati pemilih.
“Secara demografi, di Sultra dikenal ada beberapa etnis, ras, dan maupun agama. Secara eksplisit terbagi dalam bingkai demografi antara kepulauan maupun daratan. Makanya tidak heran dalam pemilihan gubernur (Pilgub) misalnya selalu ada konfigurasi antara figur daratan dan kepulauan,” kata Prof. Eka Suaib saat diskusi dalam podcast Kendari Pos Channel yang dipandu host Inong Saputra, Pemimpin Redaksi Kendari Pos, Kamis (24/8), kemarin.
Dalam sudut pandang teori sosial, kata dia, politik identitas di Sultra mendorong figur yang mewakili kelompok tertentu dan dipercaya dapat memperjuangkan aspirasi golongan tersebut ketika terpilih. Pemilih yang mengedepankan ideologi politik identitas akan mendukung figur yang dianggap representase kelompoknya. Pemilih politik identitas meyakini figur yang didukung akan bekerja dan menjawab aspirasi kelompok tersebut ketika berada di tampuk kekuasaan, misalnya bupati, wali kota, gubernur hingga anggota legislatif.
“Padahal sejatinya, figur yang didukung dari sudut pandang politik identitas, tidak menjamin akan bekerja untuk kelompok tersebut ketika terpilih. Yang mesti dipahami, bahwa dalam memilih, harus memilih figur yang terbebas dari sekat politik identitas dan mampu mengakulturasi semua golongan,” tutur Prof. Eka Suaib.
Dekan Fisip Univesitas Halu Oleo (UHO) itu menambahkan, penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu mesti bekerja ekstra dalam mengedukasi pemilih di Sultra agar tidak lagi cenderung pada prinsip politik identitas. Menanamkan pemikiran memilih pemimpin ideal yakni figur yang memiliki napak tilas politik yang baik, visioner dan juga memiliki gagasan besar untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah.
“Harus dipahami politik identitas sangat tidak sehat dalam sistem demokrasi. Karena cara tersebut hanya digunakan oleh oknum-oknum yang kurang percaya pada kemampuannya. Jadi politik identitas, mesti dikikis secara perlahan-lahan,” jelas Prof. Eka Suaib.
Ketua HMI Cabang Kendari tahun 1989-1990 itu menjelaskan 3 jenis karakter pemilih yakni pemilih rasional, sosiologis dan psikologis. Pemilih rasional paling kental di Sultra. Mereka memilih figur tertentu untuk memperoleh imbalan atau bisa berdampak positif terhadap yang bersangkutan.
“Sementara pemilih sosiologis, pemilih yang menekankan pada faktor lingkungan, agama, keluarga, jenis kelamin, dan lainnya dalam menentukan pilihan,” tutur Prof. Eka Suaib.
Sedangkan pemilih psikologis adalah pemilih yang menekankan pada identifikasi figur atau partai. Kemudian disinkronkan dengan isu-isu yang melekat pada figur atau partai tersebut. Dari hasil identifikasi tersebut memunculkan kesimpulan dalam menentukan pilihan.
“Di Sultra yang menjadi masalah adalah karakter pemilih perwakilan sebuah komunitas adalah wajib adanya. Misalnya antara figur kepulauan dan daratan. Padahal yang mesti dilihat siapapun figurnya, ditelisik dari sepak terjangnya, misi, ide atau gagasannya ke depan seperti apa,” tandas Prof. Eka Suaib. (ali/kn)