Fungsi Reproduksi Dalam Keluarga, Oleh : Dr. Mustakim, M.Si

Oleh : DR, H. MUSTAKIM, M.SI : Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya

KENDARINEWS.COM — Ada satu fungsi keluarga yang tidak bisa diremehkan, yaitu fungsi reproduksi. Bahkan fungsi reproduksi ini dapat dikatakan sebagai salahsatu fungsi sentral dalam keluarga. Kata reproduksi berasal dari dua kata, yaitu “re” (= kembali/ulang) dan “produksi” (= menghasilkan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “pengembangbiakan; tiruan; hasil ulang”, sedangkan “mereproduksi” diartikan sebagai “melakukan (membuat) reproduksi; menghasilkan (memproduksi) ulang; menghasilkan (mengeluarkan) kembali”.

Penulis katakan sebagai fungsi sentral karena dua orang lain jenis (laki-laki dan perempuan) membangun keluarga disamping agar hubungannya sah dan halal melakukan hubungan biologis (dalam pandangan Tuhan maupun manusia/sosial), juga umumnya pasangan suami-istri (pasutri) tersebut ingin memiliki anak(momongan) atau turunan. Dari keinginan ini akan berimplikasi besar pada kehidupan umat manusia di seluruh jagat raya, yakni keberlangsungan hidup manusia dalam wujud regenerasi melalui proses reproduksi ini. Tanpa fungsi reproduksi mungkin saat ini keberadaan manusia sudah surut bahkan lenyap.

Dari sudut kehendak (keinginan), reproduksi pada manusia berbeda dengan reproduksi pada binatang. Mungkin binatang lebih full mengandalkan insting seksualitas (naluri biologis) yang berakibat pada kehamilan betina secara terus menerus tanpa “memikirkan” berapa batas jumlah anak yang diinginkannya. Karena memang binatang tidak punya fikiran dan tidak ada keinginan membatasi jumlah anaknya. Pada manusia, antara naluri/kebutuhan biologis dan keinginan jumlah anak yang dimiliki nampaknya bisa menjadi dua hal yang berbeda. Naluri biologis manusia pada dasarnya tidak berbeda dengan binatang, karena hasrat seksualitas manusia juga selalu muncul, itulah sebabnya dalam “ilmu mantiq dan balaghah” manusia disebut sebagai “alhayawanun nathiq” (hewan yang berakal). Pada satu sisi (nafsu bilogis) keberadaan manusia seperti hewan yang memiliki hasrat biologis tetapi di sisi lain manusia dapat menggunakan akalnya. Bahkan menurut Thomas Robert Malthus, secara umum manusia juga (pada dasarnya seperti hewan) tidak dapat mengendalikan nafsunya.

Mustakim

Persoalannya adalah jika niat berkeluarga pada manusia hanya melulu untuk melampiaskan hawa nafsu, maka dapat dibayangkan setiap keluarga (yang kandungannya subur) bisa memiliki puluhan anak. Jika hal itu terjadi, akan muncul persoalan lanjutan apakah reproduksi yang demikian benar-benar terjamin kesehatannya? Apakah tidak membahayakan terhadap alat reproduksi (terutama perempuan/istri)? Apakah setiap keluarga akan siap dan mampu membesarkan secara sehat hasil reproduksi (anak-anak)-nya? Apakah setiap keluarga telah menyiapkan kebutuhan untuk masa depan anak-anaknya? Dan banyak lagi problem yang mengintai jika dalam satu keluarga memiliki jumlah yang anak tidak sesuai dengan situasi dan kondisi keluarga tersebut.

Perlu dipahami, kemampuan alat reproduksi pada manusia(perempuan) ada batasnya. Tidak semua perempuan mampu menerima kehamilan dan melahirkan berkali-kali tanpa istirahat. Maksudnya, mulai dari anak pertama lahir langsung hamil lagi, lahir anak kedua tanpa jeda waktu langsung hamil lagi, dan seterusnya, yang memungkinkan tiap tahun perempuan hamil dan melahirkan. Karena kemampuan reproduksi yang terbatas, tentunya setiap keluarga penting untuk merencanakan jumlah anak sesuai kemampuannya itu.

Ada nasihat bijak yang telah populer, bahkan sudah seperti adagium, tentang urusan reproduksi ini, dimana keluarga harus menghindari “4 terlalu”; 1. Jangan terlalu muda; 2. Jangan terlalu tua; 3. Jangan terlalu rapat; 4. Jangan terlalu banyak.

Yang dimaksud jangan terlalu muda adalah seorang perempuan (istri) sebaiknya jangan terlalu muda usianya untuk hamil pertama. Hati-hatilah terhadap pernikahan dini, karena banyak sekali bahayanya, antara lain jika nikahnya masih dini akan memungkinkan seorang istri hamil pada usia muda. Banyak dokter ahli kandungan, al. dr. Hasto Wardoyo yang kini jadi Kepala BKKBN, menyampaikan bahwa seorang perempuan yang hamil sebelum usia 20 tahun umumnya rahimnya belum siap menerima kehadiran jabang bayi, dan pinggulnya ketika akan melahirkan“dipaksa” untuk melebar yang dapat membahayakan kesehatan reproduksinya.

Yang dimaksud “jangan terlalu tua”, adalah perempuan(istri) sebaiknya jangan terlalu tua hamil dan melahirkan. Sebaiknya seorang perempuan(istri) berhenti hamil dan melahirkan saat usianya sudah mencapai 35 tahun. Usia yang paling baik dan ideal untuk hamil dan melahirkan adalah usia antara 20 – 35 tahun. Banyak kasus kematian ibu hamil dan melahirkan dalam rentang usia 20-35 tahun, sehingga sebaiknya seorang istri berhenti hamil dan melahirkan jika telah mencapai usia 35 tahun. Kecuali mungkin bagi yang baru menikah di usia menjelang 35 tahun, inipun harus dijaga ekstra ketat.

Yang dimaksud “jangan terlalu rapat” adalah perempuan(istri) sebaiknya melahirkan antara anak yang satu dengan anak berikutnya jaraknya jangan terlalu dekat/rapat. Jarak yang bagus antara anak yang satu dengan anak berikutnya minimal 3 tahun, lebih bagus lagi jika setelah 5 tahun. Bahkan Allah SWT dalam al-Qur’an pun mengisyaratkan hal ini dengan anjuran menyusukan anak selama 2 tahun: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan,” (QS al-Baqarah: 233). Jika selesai menyusukan anak selama dua tahun penuh, ditambah istirahat sekitar 1 tahun, maka paling cepat seorang istri bisa hamil lagi setelah 3 tahun.
Yang dimaksud “jangan terlalu banyak” adalah sebaiknya seorang istri jangan terlalu banyak/sering hamil dan melahirkan. Rencanakan jumlah anak sesuai situasi, kondisi dan kemampuan kedua orang tua. Hal ini sangat penting untuk 2 kesehatan sekaligus, yakni kesehatan lahir/reproduksinya dan kesehatan batiniah keluarga tersebut. Ada yang berpendapat, berapapun jumlah anak toh Tuhan yang kasih makan. Benar rizki semua makhluk Allah (apalagi manusia) telah Allah jamin. Tapi, mari kita fikirkan secara jernih, apakah kita yang terus memproduksi anak lantas tanggungjawab selanjutnya kita lemparkan saja kepada Allah/Tuhan?

Sebagai manusia, apalagi sebagai orang tua, kita juga memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan generasi yang lebih baik ke depan. Setelah melahirkan anak, orang tua juga masih terus memiliki kewajiban untuk menjaga, membesarkan, membimbing, mendidik dan menyiapkan masa depan anak-anak kita. Tanggung jawab inilah yang penulis maksud hendaknya sesuai dengan kondisi, situasi dan kemampuan orang tua. Kata Allah: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”(QS. An-Nisa: 9).

Ayat tersebut sangat jelas memberi peringatan kepada kita agar kita “takut kepada Allah” jika kita “tidak bertanggung jawab” kepada anak-anak yang kita produksi/lahirkan. Bentuk tanggung jawabnya adalah kita “wajib berusaha” agar anak-anak kita tidak “lemah”, dan kita pun perlu khawatir dan cemas “bagaimana ya nasib anak-anak saya kelak?” Sebagian besar ahli tafsir menafsirkan kekhawatiran tersebut adalah terhadap “kesejahteraan(ekonomi)” anak-anak kita, yang berarti kita harus menyiapkan bekal (tabungan) yang cukup agar anak-anak kita memiliki nasib yang tidak sengsara.

Jika ditafsirkan secara utuh kata “lemah” dalam ayat tersebut adalah “lemah jasmaniah, mental dan rohaniahnya” (3 unsur dalam diri manusia), yang berari bekal yang harus dipersiapkan oleh orang tua untuk anak-anaknya adalah untuk ketiga unsur tersebut. Misalnya, untuk biaya makanan dan minuman yang menyehatkan, untuk biaya perawatan dan obat (jika sakit), biaya pendidikan (umum dan agama), dan bila perlu hingga biaya untuk modal kerja, dll. Maka menjalankan fungsi reproduksi setiap keluarga minimal perlu menjalankan 3 nilai dasar, yakni: Tanggung jawab, sehat dan teguh (tidak setengah-setengah).(*)

Tinggalkan Balasan