KENDARINEWS.COM — Tindakan tidak profesional masih saja dilakukan dua oknum anggota Polri. Baru-baru ini, anggota Kepolisian Sektor (Polsek) Sampuabalo, Buton dilaporkan ke Propam Polda Sultra. Oknum polisi ini diteranggarai melakukan penganiyaan terhadap dua anak di bawah umur berinisial LN (14) dan AG (12) saat menyidik kasus pencurian di Desa Koraa, Kecamatan Siontapina. Dari informasi yang dihimpun, LN (14) dan AG (12) mengalami kekerasan. Keduanya bahkan dipaksa mengakui melakukan aksi pencurian di Buton bersama dengan MS (22). Padahal mereka tidak terlibat sama sekali. Penyidikan ini berawal dari laporan Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP), bernama Saharuddin yang kehilangan sebuah handphone, laptop dan uang tunai, Kamis 24 Desember 2020 lalu.
Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol Ferry Walintukan mengatakan, Polda Sultra sudah bergerak melakukan pemeriksaan terhadap dugaan tersebut. Dirinya mengungkapkan, sudah ada tim yang diperintahkan memeriksa, ke Polres Buton dan Polsek Sampuabalo atau tempat kejadian yang dimaksud. “Bapak Kapolda Sultra, Irjen Pol Drs Yan Sultra Indrajaya telah memerintahkan Itwasda dan Bid Propam bergerak cepat, mengecek ke Polres Buton dan Polsek Sampuabalo. Perintah ini, sebelum laporan dugaan penganiayaan yang dilakukan oknum penyidik Polsek Sampuabalo masuk ke Bid Propam Polda Sultra,” katanya saat dihubungi Kendari Pos, Minggu (18/4).
Kapolres Buton, AKBP Gunarko mengatakan, pihaknya menunggu perkembangan hasil pemeriksaan dari Propam Polda Sultra. Ia menegaskan bahwa tidak akan mentolerir hal tersebut jika memang oknum penyidik itu terbukti melakukan penganiayaan. “Kita tidak akan mentolerir jika terbukti betul menyalahi aturan, sekarang masih menunggu hasil pemeriksaan Propam Polda Sultra,” ujarnya.
Kuasa Hukum LN dan AG, La Ode Abdul Faris mengaku telah melakukan pelaporan dugaan penganiayaan ke Propam Polda Sultra tanggal 16 April dengan nomor SP2P/26/IV/2021/Aduan. Laporan ini dilayangkan atas tuduhan perbuatan dua penyidik Polsek Sampuabalo yang dianggap menyalahi aturan. Menurutnya, klienya selama belasan hari, dari awal ditangkap, 3 Januari 2021 hingga 12 Januari 2021, AG dan LN sering mendapat tekanan, pukulan, dan ancaman menggunakan senjata. Mereka dipaksa mengaku mencuri meskipun tak tahu apa-apa. Diketahui, kedua anak tersebut telah dijatuhkan vonis hukuman pesantren dan pembinaan selama 5 bulan oleh Pengadilan Negeri Pasarwajo. Sedangkan MS sedang menunggu persidangan selanjutnya.
Sebelumnya salah seorang anak RN mengaku kepada awak media, jika mendapat tekanan, pukulan juga ancaman dari oknum polisi. Mereka dipaksa harus mengakui perbuatan mencuri yang menurut keduanya tidak mereka lakukan. “Jadi waktu ditanya-tanya, kami dipukul, diancam dengan senjata sama Pak Polisi di ruang penyidik. Bukan saja di hari itu, di hari-hari lain juga begitu,” kata RN kepada sejumlah awak media. “Lalu saya mendapat tamparan empat kali di bagian pipi dan dipukul di pipi dua kali, ditendang di bagian perut dua kali dan diancam dan ditodong sama senjata di paha di telapak tangan, dan di kepala. Saya sudah tak tahan dan terpaksa saya akui saja kalau saya mencuri. Sakit pak saya tidak bisa tahan, jadi saya berbohong mengakui,” ujarnya. (ndi)