KENDARINEWS.COM–Dinas transmigrasi dan tenaga kerjra (Disnaker) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menindaklanjuti polemik Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) antara PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) dengan eks karyawan yang ada di wilayah Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Hal itu dibuktikan dengan pertemuan mediator perselisihan hubungan industrial Disnaker Sultra, Selasa (10/7) kemarin.
Hadir dalam pertemuan itu, pihak perusahan PT. WIN, sejumlah eks karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pendamping hukum.
Mediator Hubungan Industrial Disnaker Sultra La Ode Muhammadin SH mengungkapkan, upaya mediasi ini sebagai tindaklanjut surat kepala Disnaker Kabupaten Konsel nomor 560/646/2023 tanggal 26 Juni lalu perihal surat pelimpahan perkara PHI dan sesuai dengan ketentuan pasal 10 undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian PHI junto Peraturan pemerintah tenaga kerja dan transmigrasi nomor 17 tahun 2014 tentang tata kejra mediasi PHI.
“Mediasi ini adalah upaya mencari solusi terkait polimik eks karyawan dan perusahaan,”ungkapnya.
Dalam pertemuan itu, Kuasa hukum eks karywan yang di PHK La Ode Sulaiman memaparkan, sejumlah kliennya itu meminta kepada pihak perusahaan untuk membayarkan pesangon. Pasalnya perusahaan yang beroperasi dibidang pertambangan di Desa Torobulu Kecamatan Laeya Kabupaten Konsel itu diduga memecat pekerjanya secara sepihak. “Tuntutan utama klien saya adalah meminta pemerintah untuk memberikan sanksi pihak perusahan yang telah melakukan PHK tidak sesuai dengan ketentuan perundang-udangan,” ungkapnya.
Kedua, lanjut dia pihaknya juga menuntut pihak perusahaan untuk membayarkan pesangon terhdap sejumlah karyawan yang mengalami pemecatan atau pemberhentian secara inprosedural.
“Sebagai bentuk protesnya klien saya menuntut pihak PT WIN harus membayarkan pesangonnya dua kali lipat dari yang harus dibayarkan,” terangnya.
Disisi lain, kata dia, pihak PT WIN selama ini mempekerjakan kliennya tanpa adanya kontrak yang jelas. Lebih ironis, mereka dibayar dibawah upah standar regional atau UMR.
“Mereka membayar gaji karywan dibawa UMR itu adalah perbudakan. Apalagi mereka tidak diberikan SK maupun kontrak apapun terhadap pekerja. Padahal mereka ini sudah bekerja hingga 4-5 tahun. Sementara aturannya jelas dalam Peraturan pemerintah nomor 35 tahun 2021 tentang pekerja paruh waktu, itu semua diatur,”jelasnya.
Ditambahkan, jika pihak perusahaan tidak bisa memenuhi tuntutan pekerja yang di PHK tersebut, maka pihaknya akan menggiring persoalan ini ke ranah hukum.
“Kita akan giring persoalan ini ke ranah pidana. Karena Perusahaan ini telah melakukan perbudakan terhadap karyawan,”tegasnya.
Sementara itu, General Manager PT. WIN, Iman berdalih bahwa pihaknya sudah memberikan gaji karyawan sesuai ketentuan yang berlaku. Bahkan, pihaknya mengaku tidak bisa memenuhi permintaan hak karywan yang di PHK itu. Pihaknya malah meminta untuk pembayaran pesangon itu dilakukan serendah mungkin.
“Selama ini kita sudah berikan gaji sesuai. Kita bisa berupaya memberikan pesangon, tapi paling dibawah standar,”dalihnya saat upaya mediasi di kantor Disnaker Sultra kemarin.
Mendengar pernyataan pihak perusahaan itu, Sulaiman kemabali menimpali. Bahwa apa yang dialami kliennya itu jauh dari kata keadilan. Khususnya dalam pemberian gaji karyawan.
“Dalam komponen gaji itu, ada yang namanya gaji pokok dan tunjangan. Sementara kliennya mereka dibayar gaji pokok sebesar Rp 1 juta, ditambah tunjangan Rp 900 ribu, jadi totalnya hanya 1,9 juta. Baru mereka bekerja retase yakni lembur siang malam,”katanya menimpali.
Sementara itu, Mediator Hubungan Industrial, Muhammadin belum bisa mengambil kesimpulan atas polemik tersebut. Pihaknya masih memberikan kesempatan pihak terkait untuk membicarakan solusi dan langkah terbaik.
“Mediasi nanti dilanjutkan tangal 19 Juli 2023. Tapi sebelum itu, baiknya harus ada pertemuan dulu antara pihak perusahaan, maupun pihak eks karyawan maupun pihak PH. Agar ini bisa memberikan solusi yang baik,” tambahnya. (kam/kn)