-Penyelesaian Masalah Tanpa Melalui Pengadilan
KENDARINEWS.COM—Langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) membentuk Rumah Restorative Justice di sejumlah daerah dianggap tepat. Pasalnya, setiap persoalan yang terjadi di masyarakat tak perlu berujung ke pengadilan.
Kepala Ombudsman Provinsi Sultra Mastri Susilo mengapresiasi upaya jajaran korps Adhyaksa yang meresmikan 11 rumah restoratis di puncak Hari Bhakti Adhyaksa (HAB) ke 62. Menurutnya, rumah restorative justice ini juga sangat menjunjung nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan dalam hukum karena kasus pidana yang tidak terlalu berat bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan damai.
“Ini (Restorative Justice) sangat baik karena jaksa berusaha untuk mendamailan dua pihak yang berselisih. Intinya, kita harus mencari win win solution sehingga penyelesaiannya bisa lebih cepat,” ujar Mastri Susilo kemarin.
Di sisi lain, keberadaan rumah restoratif ini sangat membantu meneyelasikan masalah yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) yakni masalah over kapasitas. “Karena ketika ujungnya (kasus pidana) dipaksakan masuk di pengadilan dan divonis bersalah pasti yang repot kumham (Kemenkumham). Karena lapas dan rutan itu sudah over kapasitas,” ungkap Mastri.
Terpisah, Kajati Sultra, Raimel Jesaja mengaku seluruh Kejaksaan Negeri (Kejari) di Sultra telah memiliki rumah restoratif. Pengadaannya sejalan dengan Peraturan Kejaksaan nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Lanjut Raimel, restorative justice dihadirkan untuk mewujudkan keadilan serta untuk menjunjung HAM. Ia tak menampik jika selama ini ada kasus perkara yang semestinya cukup melihat dari sisi pertimbangan, hati nurani, kearifan lokal dan dari sisi HAM, namun tetap berlanjut di pengadilan dan berakhir dengan penjara.
“Contoh ada orang metik mangga di kebun karena lapar. Itu untuk kepentingan perut masa harus melalui proses panjang sampai orang itu dihukum dan dipenjarakan. Nah, disitu keadilannya dimana, HAM nya dimana. Oleh karena itu, saya sudah perintahkan kepada seluruh kajari untuk melaksanakannya (hadirkan Rumah Restorative Justice),” kata Raimel.
Raimel menambahkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu tindak pidana dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Pertama, pulihnya hak-hak korban yang dilanggar. Kedua, telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban. Ketiga, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana. Keempat, tindak pidana tersebut diancam dengan pidana yang tidak lebih dari lima tahun. Kelima, kerugian yang timbul tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
“Di rumah restoratif para jaksa bisa melakukan mediasi untuk melakukan penghentian penuntutan yang berorientasi pada upaya pemulihan bagi korban dan upaya memperbaiki diri pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi perbuatannya,” pungkasnya. (KN)