Jangan Ada “Raja” di Antara Kita, Oleh: H. Nur Alam, S.E., M. Si.

Contoh paling sederhana misalnya, dalam soal mutasi jabatan seorang pegawai Aparatur Sipil Negara Daerah yang memang merupakan otoritas seorang kepala daerah, dibantu oleh instrumen, mekanisme, dan tata kelola serta tata laksana organisasi. Sepanjang mutasinya dilakukan dengan mengikuti mekanisme peraturan perundangan tentang tata Kelola dan tata laksana ASN Daerah, baik dalam hal pemberian reward maupun punishment, dengan tetap memperhatikan azas azas keseimbangan yang menjadi kebijakan, maka berarti hal tersebut sudah benar. Yang tidak boleh adalah mengambil langkah yang dilatarbelakangi oleh kebijakan pribadi yang sifatnya subyektif.

Memang ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diukur secara kaku normatif, dan di situlah subyektifitas pimpinan diperbolehkan. Tetapi subyektifitas yang objektif, yaitu subyektifitas yang sesuai dengan koridor peraturan perundangan yang berlaku (deskresi). Begitu juga dalam hal mengakomodir aspirasi masyarakat yang beragam latar belakangnya, budayanya, pendidikannya, pandangannya, keinginannya, bahkan profesinya, selalu harus dilihat secara komprehensif, agar tidak ada program yang dipaksakan padahal tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebab bila dipaksakan, maka output dan outcome-nya pasti tidak akan tercapai.

Program pembangunan yang paling efektif adalah program yang bisa bersinergi dengan partisipasi aktif masyarakat. Dalam hal keduanya saling bertentangan, maka program yang dilaksanakan oleh pemerintah akan mengalami inefisiensi dan kesia-siaan, antara lain tidak tepat sasaran atau pun tidak tepat guna. Tujuan proyeknya memang tercapai, tapi azas manfaatnya tidak dapat diperoleh.
Pemimpin yang memiliki komitmen adalah pemimpin yang selalu mendengar suara rakyatnya. Dia memiliki hati yang peka (responsibilitas) dan tanggap terhadap situasi yang terjadi di tengah masyarakatnya.

Positive Thinking

Omnibus Law tidak muncul secara tiba-tiba. Selama ini pemerintah pusat memotret pelaksanaan pemerintahan daerah. Pusat pasti melihat bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan pemerintahan daerah kurang efektif, produktif, dan efisien. Mulai dari kewenangan perizinan, pengelolaan, maupun pengawasan, yang kemudian melahirkan raja-raja kecil dan pemerintahan yang korup. Sehingga akhirnya, kewenangan-kewenangan itu ditarik kembali ke pusat.

Kemunculan Omnibus Law harus menjadi pelajaran bagi segenap elemen pemerintahan di daerah, agar tidak ada lagi sikap dan perilaku kepala daerah yang kerap mendominasi dan bersikap arogan terhadap berbagai tindakan dan kebijakan, yang akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan dan keraguan dari pemerintah pusat. Sebenarnya, Omnibus Law, memang bertentangan dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Tapi saya melihatnya hal ini sebagai koreksi dari sebuah penyelenggaraan otonomi yang kebablasan.

Tinggalkan Balasan