KENDARINEWS.COM — Sejak Partai Demokrat (PD) didirikan tahun 2001, saat ini menghadapi situasi konflik pasca Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang. Bukan kali ini saja KLB dilaksanakan. Tahun 2013, KLB juga dilaksanakan. Hanya bedanya, jika tahun 2013, KLB dilaksanakan karena Anas Urbaningrum, Ketua Umum PD tersandung masalah. Lebih banyak pada aspek penyelamatan partai yakni internal. Tapi, KLB tahun 2021, karena kelindan eksternal dan internal.
Saya juga kaget mengapa tiba-tiba KLB dilaksanakan. Secara objektif, belum bisa untuk menguji apakah AHY saat ini gagal atau sukses sebagai Ketua Umum PD. Salah satu indikator keberhasilan yakni keberhasilan mengangkat suara elektoral. Pemilu legislatif 2019, AHY belum menjadi orang nomor 1 di PD. Tidak bisa juga dipungkiri, PD menikmati puncak kejayaannya tahun 2009. Saat itu, perolehan suara PD mencapai 20,85 persen. Selain itu, juga menempatkan SBY sebagai Presiden. SBY amat dekat dengan PD. Dan bahkan bersama dengan para pendiri partai berlambang mercy ini, sudah merancang PD yang dipersiapkan sebagai kendaraan politiknya menuju istana. Dengan bekal SBY sebagai ‘Jenderal Pemikir’, strategi yang diperolehnya semasa masih berkecimpung di dunia militer, secara efektif dipraktikannya saat berlaga di medan politik.
Namun sayangnya, realitas politik yang berubah pasca SBY lengser dari kursi kepresidenan mengubah citra PD. Setelah SBY tidak menjabat presiden, perolehan suarta PD hanya 9,3 persen pada pemilu 2014. Penurunan perolehan suara, salah satu faktor penyebabnya karena PD sangat tergantung pada pesona SBY. Padahal, dengan SBY tidak menjadi Presiden lagi, tidak sekuat magnet elektoral dibanding saat menjadi Presiden.
Nama besar SBY di PD kemudian menjadi salah satu faktor sehingga orang nomor 1 tidak lepas dari trah SBY. Maka, AHY menjadi pilihan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Tidak salah juga pilihan tersebut. Soalnya, AHY masuk kategori pemimpin milenial dan muda. Dalam beberapa waktu terakhir, persentase pemilih banyak berasal dari usia di bawah 40 tahun. Melalui sosok AHY diharapkan dapat lebih memenuhi kebutuhan dan aspirasi kaum muda. Pada posisi ini, PD sudah berhasil untuk meremajakan diri dengan menampilkan figur pemimpin muda pada puncak kekuasaaan partai.
Hanya memang, lanskap politik Indonesia, terlebih bagi penguasa tidak terlalu sreg dengan partai yang ‘berseberangan’. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sejarah kepartaian yang pernah ada. PKB di awal reformasi. Lalu PPP pasca Pemilu 2014. Ujung dari pertikaian tersebut yakni kemenangan bagi kubu yang dekat dengan kekuasaan. Lalu, di Golkar juga pernah terjadi. Kubu Aburizal Bakri yang kontra pemerintah kemudian juga memunculkan kubu Agung Laksono. Keduanya, ‘dibiarkan’ untuk konflik, dan dipertemukan. Solusinya, memunculkan figur Airlangga Hartarto sebagai pemimpin baru. Tidak lupa juga kisruh yang terjadi di Partai Berkarya.
Hanya memang berbeda dengan konflik pada partai di atas. Yang unik di PD yakni adanya figur non kader yakni pada sosok Moeldoko. Bisa jadi, ingin mengikuti beberapa seniornya yakni para mantan jenderal ingin mengelola partai seperti Sutiyoso, Hendropriyono, dan Edi Sudrajat. Mungkin juga terilhami oleh kiprah SBY, latar belakang militer yang sukses di politik. Realitas politik yang terjadi saat ini, yakni KLB di Deli Serdang sudah terjadi. Kubu AHY dan kubu Moeldoko hasil KLB Deli Serdang. Praktis kedua kubu berebut legalitas dari Pemerintah. Ini merupakan ujian kepemimpinan bagi AHY. Melalui kepemimpinan yang baik, maka krisis akan teratasi, konflik dapat diselesaikan, dan PD akan semakin maju. Sebaliknya, dengan kepemimpinan yang buruk, suara electoral PD akan semakin terpuruk, dan kelembagaan partai menjadi tertatih-tatih.
Ini juga menjadi ujian bagi figur Moeldoko. Setelah terjadi didapuk menjadi Ketua Umum, apa yang terjadi sesungguhnya. Kita perlu menunggu, apakah memang betul serius untuk mengurus partai. Lalu, bagaimana kemampuan untuk membasarkan partai, padahal ia bukan kader PD. Bagi pemerintah, pernyataan dari Menkopolhukam Prof.Mahfud menjadi referensi. Menurutnya, pemerintah akan menggunakan pendekatan hukum dalam penyelesaian PD. Ini benar. Pada akhirnya, hukum yang mengatur politik.
Jalan elegan yang perlu ditempuh yakni perlunya PD untuk menumbuhkan identitas partai yang lebih kuat. Melalui identitas, maka menjadi salah satu jalan untuk dapat mengintegrasikan dan menyatukan kader partai. Jika itu tidak dilakukan, maka PD akan tetap tergantung pada figur, bukan kelembagaan. Partai tak ubahnya hanya seperti fans club. Dan karenanya tidak heran, pada masa depan, gangguan akan tetap terjadi karena adanya kepentingan praktis yang lebih dominan dalam dinamika parpol. Jika itu terjadi, maka masa depan PD akan tetap menjadi salah satu partai yang terlembaga dengan kokoh. (*)