KENDARINEWS.COM — Kabut prahara masih menyelimuti Partai Demokrat (PD) dalam pusaran kudeta. Posisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono didongkel mantan elit dan kader Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB). Adalah Jenderal (Purn) Moeldoko didapuk sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat versi KLB Medan. Demokrat kini di simpang jalan.

Disinyalir gerakan kudeta yang dimotori pecatan kader Demokrat adalah agenda setting untuk kepentingan Pilpres 2024. Entah Moeldoko sendiri yang akan tampil sebagai capres, entah nanti Partai Demokrat sebagai tunggangan politik bakal capres yang dijagokan. Mungkin juga kudeta itu untuk menjegal langkah AHY di panggung Pilpres.
Wakil Ketua DPD PD Sultra, Abdul Salam Sahadia enggan mengomentari lebih jauh soal agenda setting kudeta versi KLB Medan demi ambisi ke panggung Pilpres. Abdul Salam Sahadia lebih memilih mengomentari manuver Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bakal meniti jalan terjal. Sebab, penolakan KLB yang melahirkan Moeldoko sebagai nakhoda Demokrat kian santer. Salah satunya datang dari DPD PD Sultra yang menolak tegas dan mengecam KLB Medan.
Abdul Salam Sahadia mengatakan PD Sultra menolak keras KLB yang menelurkan Moeldoko sebagai pimpinan Demokrat. KLB itu bersifat ilegal. Tidak resmi. “KLB versi Moeldoko tidak legal. Bahkan sangat cacat karena KLB tidak memenuhi syarat sesuai AD/ART Partai Demokrat,” ujarnya kepada Kendari Pos, Minggu (7/3) kemarin.
KLB Medan, kata Abdul Salam Sahadia, tidak sama sekali memengaruhi eksistensi kesolidan kader Demokrat Sultra yang senantiasa komitmen dan patuh terhadap kepemimpinan AHY.
“Kami sangat kukuh dan tegak lurus terhadap AHY. Apapun yang terjadi nanti, kader Demokrat Sultra kepatuhan kepada AHY sebagai nahkoda DPP Demokrat tetap membaja,” tegas anggota Komisi III DPRD Sultra itu.
Terpisah, Ketua DPC Partai Demokrat Muna, L.M. Taufan Alam mengatakan eks elite Demokrat yang melahirkan Moeldoko sebagai ketua DPP Demokrat melalui KLB merupakan gerakan propaganda predator politik. Artinya muara dari pergerakan mereka ingin menghancurkan eksistensi Demokrat dan elektabilitas AHY. Akhir-akhir ini penerimaan publik terhadap AHY kian membesar. Maka untuk melemahkannya dengan cara mematikan Demokrat. Metode untuk melenyapkan Demokrat dengan cara menciptakan dualisme.
“Elektabilitas AHY terus menunjukkan trend positif. AHY adalah kandidat kuat yang bakal tarung di Pilpres 2024. Dengan mengobrak-abrik tatanan internal Demokrat, akhirnya kader hanya akan disibukan dengan konflik internal. Dalam situasi tersebut berpotensi melemahkan elektabilitas Demokrat dan AHY,” kata L.M. Taufan Alam kepada Kendari Pos, Minggu (7/3).
Ketika konflik internal Demokrat tercipta, kata dia, maka di sana celah besar eks elit Demokrat untuk terus melemahkan partai. Sehingga saat Pemilu 2024, Demokrat akan mengalami degradasi oleh persoalan internal dan lupa konsolidasi. Akhirnya elektabilitas Demokrat akan mengecil. Skenario ini teramat berbahaya.
“Meskipun demikian, kami yakin DPP akan bergerak cepat melindungi Demokrat dari tangan-tangan jahat, yang memorakporandakan internal partai. Dan kami tegaskan, kader Demokrat Muna solid dan tegak lurus terhadap AHY,” jelasnya.
Taufan Alam menambahkan, gerakan KLB Medan tidak sesuai AD/ART. Pasalnya, syarat KLB adalah mesti dihadiri pemilik suara dari DPC minimal seperdua tambah satu, dari DPD duapertiga. Yang terjadi di KLB Medan, tidak memenuhi regulasi tersebut.
Sementara itu, pengamat Politik Sultra Dr. Najib Husain mengatakan, hadirnya Moeldoko sebagai Ketua DPP Demokrat versi KLB sebuah tanda bahwa partai berlambang mercy itu akan melalui masa tersulit dikancah perpolitikan. Menurut Najib Husain, penentu nasib Demokrat adalah sikap pemerintah. Jika tetap mendukung dan mengakui AHY sebagai nakhoda DPP Demokrat maka imbasnya akan semakin menggenjot elektabilitas partai. Termasuk kian meninggikan kekuatan elektabilitas AHY.
Sebaliknya, jika Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengesahkan Moeldoko sebagai pimpinan Demokrat, maka dualisme di tubuh Demokrat akan kian menganga.”Pada situasi tersebut, kader Demokrat yang ada di daerah perlahan-lahan akan merapat ke kubu Moeldoko. Intisarinya, tergantung sikap pemerintah akan melabuhkan putusan ke arah mana,” kata Dr. Najib Husain kepada Kendari Pos, Minggu (7/3).
Gerakan misi politik Moeldoko yang telah didaulat sebagai ketua DPP Demokrat versi KLB, sambung Najib Husain, bermuara pada Pilpres 2024. Moeldoko ingin menghegemoni Demokrat untuk menjadikan pintu meniti jalan maju Pilpres mendatang. Hanya saja, cara yang ditempuhnya tidak bersifat elegan. Di satu sisi, pergerakan Moeldoko seolah terjadi pembiaran oleh pemerintah. Itu terlihat tidak adanya sikap tegas dari istana terhadap mantan Panglima TNI era Susilo Bambang Yudhoyono itu. “Secara figur personal, Moeldoko sangat lemah. Maka untuk mengangkat elektabilitasnya salah satu cara dengan menjadi pemimpin partai. Seperti yang dilakukan saat ini,” urai dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Halu Oleo itu.
Dr.Najib Husain menjelaskan, pertarungan dualisme ini akan kian sengit ketika telah dibawa ke pengadilan. Di sana akan diuji AD/ART Demokrat. Ada dua versi yaitu KLB kubu Moeldoko menggunakan AD/ART tahun 2015. Sedangkan Demokrat versi AHY menggunakan AD/ART tahun 2020. “Nantinya di pengadilan akan diuji AD/ART masing-masing. Untuk memutuskan siapa pemenang,” jelas Najib Husain.
Dualisme yang mendera Demokrat saat ini adalah cela ketika AHY diangkat menjadi Ketua Umum DPP Demokrat tahun 2020. Ketika itu AHY tidak memenuhi syarat dijadikan sebagai pucuk pimpinan. Alasannya baru saja keluar dari instansi TNI dan baru bergabung dengan partai. Padahal, untuk menjadi Ketua Umum mesti telah menjadi kader minimal tiga bulan. Langkah yang ditempuh saat itu dengan merevisi AD/ART untuk meloloskan AHY menjadi Ketua Umum.
“Yang digadang-gadang menjadi Ketua Umum adalah Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Napak tilasnya di Demokrat telah melanglangbuana. Namun hal itu tidak terealisasi. Celah atau kekeliruan politik SBY tersebut yang akhirnya berdampak hadirnya dualisme,” jelas Najib Husain.
Najib Husain menambahkan, sejak awal mencuatnya isu kudeta, semestinya SBY bersama AHY mengumpulkan seluruh 34 Ketua DPD dan 514 Ketua DPC Kabupaten/Kota. Guna menggelar konsolidasi menguatkan dan mengeratkan tatanan partai. Untuk mengkerdilkan pengaruh oknum-oknum yang berhasrat melakukan kudeta. Namun upaya tersebut tidak dilakukan. Dan jika dalam waktu dekat ini mengumpulkan ketua DPD dan DPC seluruh Indonesia, maka hal tersebut terlambat. Karena KLB telah digelar.
“Saat ini hal fundamental yang mesti ditempuh, mempersiapkan kekuatan menghadapi sidang di pengadilan nanti. Tentu situasi ini sangat membahayakan AHY,” tandas doktor alumni Universitas Gajah Mada itu.
AHY Kumpulkan Ketua DPD dan DPC Demokrat
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) secara lantang menegaskan akan melawan Moeldoko jika tetap ingin mengkudeta dirinya dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini merapatkan barisan usai muncul dualisme kepemimpinan dalam partai yang diketuainya saat ini. AHY akan menggelar rapat bersama Ketua DPC pada 514 Kabupaten dan Kota. “Saya akan melakukan rapat dengan jajaran, dengan ketua DPD yang merepresentasi 34 provinsi di Indonesia. Nanti dilanjutkan apel siaga bersama para Ketua DPC 514 Kabupaten dan Kota,” kata AHY di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, Minggu (7/3).
Sikap ini dilakukan sebagai bentuk kader partai untuk mendukung penuh kepemimpinannya. Dia menegaskan, dirinya terpilih sebagai Ketua Umum melalui Kongres V Partai Demokrat yang sah secara konstitusional. “Ini sebagai bentuk kesetiaan dan kebulatan seluruh pimpinan pengurus dan kader utama PD yang memang sah, yang memang dinyatakan oleh negara dan pemerintah sebagai pemimpin pengurus yang sah jajaran partai PD,” tegas AHY.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pemerintah akan menyelesaikan secara hukum mengenai polemik kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat. “Untuk kasus KLB Partai Demokrat di Deli Serdang, pemerintah akan menyelesaikan berdasarkan hukum,” kata Mahfud, Minggu (7/3).
Mahfud menyampaikan, pemerintah belum menerima secara resmi laporan mengenai gelaran KLB Partai Demokrat. Bahkan, sampai saat ini pemerintah tidak mengetahui secara resmi mengenai adanya gelaran KLB di Deli Serdang itu.
“Sampai dengan saat ini, pemerintah tidak menganggap setidak-setidaknya secara hukum tidak tahu ada KLB, meskipun telinga mendengar, kita melihat, tapi secara hukum kita tak bisa mengatakan itu KLB. Sebelum dilaporkan secara resmi hasilnya kepada pemerintah,” ujar Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menegaskan, pemerintah akan menyelesaikan sengkarut itu menggunakan peraturan perundang-undangan dan AD/ART Partai Demokrat.
“Dasar penyelesaiannya adalah peraturan perundang-undangan. Pertama, UU Parpol, kedua berdasar AD/ART yang berlaku pada saat sekarang ini,” ucap Mahfud.
Dia juga menegaskan, berdasarkan AD/ART 2020 yang dipegang pemerintah Ketua Umum Partai Demokrat yang sah secara hukum adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). “Bagi pemerintah AD/ART yang terakhir yang sah itu adalah AD/ART yang diserahkan 2020, bernomor MHH9/2020/18 Mei 2020, pada saat itu maka juga yang menjadi Ketum PD sampai saat ini adalah AHY,” tegas Mahfud. (ali/b/jpg)