Hj. Sri Lestari Sulkarnain, “Kartini Kendari”, Oleh : Prof.Eka Suaib

KENDARINEWS.COM — Kiprahnya sebagai sosok yang memberdayakan perempuan, maka Kendari Pos menganugerahinya sebagai tokoh inovatif kebangkitan perempuan di Kota Kendari. Berbagai organisasi, Hj. Sri Lestari Sulkarnain, S.Pd., M.Si didapuk menjadi ketua. Ada PKK dan Ketua Dekranasda Kota Kendari. Pun, Ketua Bunda Baca, Ketua PD Persaudaraan Muslimah Kota Kendari, pengurus MGMP Kota Kendari hingga pembina komunitas perempuan pesisir.

Melalui organisasi yang dipimpinnya, sepak terjang Hj.Sri Lestari sangat menonjol. Latar belakangnya sebagai pendidik juga menginspirasi. Sebagai alumni FKIP Universitas Halu Oleo (UHO) tahun 2004, Sri Lestari menonjol pada aspek edukasi. Beberapa edukasi yang dilakukan seperti seperti pola hidup bersih dan sehat agar kualitas hidup lebih baik. Juga edukasi soal pengelolaan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Misalnya bagaimana ikan, tidak hanya diolah jadi ikan asin, tapi bisa jadi abon dan kerupuk. Pada era pandemik, Sri juga mengedukasi masyarakat agar dapat bangkit dari keterpurukan ekonomi (Kendari Pos,21/04/2021).

Sri Lestari, yang merupakan alumni S2 Administrasi Pembangunan UHO, juga pribadi yang amat dermawan. Melalui akun facebook Humas Kota Kendari beberapa kegiatan menggambarkan kesigapannya mengulurkan bantuan. Ada bantuan bedah rumah ibu Ginting di Tondonggeu.
Demikian juga bantuan kepada ibu Rimon karena rumahnya ambruk diterjang angin kencang. Juga bantuan operasi pemisahan Akila Dewi Syabila dan Azila Dewi Sabrina, bayi kembar siam. Juga membantu Aksan Wirayuda dan Iksan Wirayudi penderita endema paru di Lepo-Lepo. Juga penderita lumpuh layu Muhammad Dafa Febian di Watu Watu, serta Ritma dari Kelurahan Punggaloba. Banyak bantuan lain yang luput dari catatan penulis.

Kiprahnya mengingatkan pada perjuangan Raden Ajeng (R.A) Kartini, tokoh emansipasi perempuan. R.A Kartini, meski dipingit tetapi mendapatkan literatur yang dicetak terbatas saat itu. Ia juga membaca karya-karya buku yang bermutu tinggi, karya roman dan sastra yang inspiratif. Dari bacaan itulah, melahirkan gagasan yang mendobrak tradisi lama karena membatasi gerak pikir kaum perempuan.

Padahal saat itu watak feodalisme sangat kuat. Perempuan hanya berada di rumah saja untuk mengerjakan tugas rumah tangga. Sebagai perempuan Jawa, RA Kartini tidak bebas dalam menentukan arah masa depan, utamanya kebebasan untuk belajar. Bisa dibayangkan, ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja. Padahal, dirinya adalah anak Bupati Jepara. Anak bupati saja, tidak boleh sekolah tinggi. Lalu, bagaimana perempuan yang bukan bupati?

Hidup dalam suasana itu, tidak menyurutkan semangat RA Kartini untuk memajukan perempuan. Usaha dilakukan dengan pendirian sekolah untuk anak gadis dengan pelajaran menjahit, menyulam, memasak. Bahkan berencana untuk mengikuti Sekolah Guru di Belanda. Namun keinginannya tidak terwujud.

Padahal jika mau, Kartini bisa saja tetap berada di zona nyaman. Bukan apa-apa, karena dia lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan. Oleh sebab itu, gelarnya: R.A (Raden Ajeng) di depan namanya. Ayahnya, yakni R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Ia, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati Jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Tapi, Kartini, menjadi manusia sejarah, yang mendobrak tradisi saat itu.

Terobosan Hj. Sri Lestari Sulkarnain kiranya merupakan refleksi dari modernisasi yang diimpikan oleh Kartini. Lihat saja, sangat peduli pada aspek pendidikan, peduli terhadap penderitaan orang lain. Juga yang penting, tidak ingin berada pada zona nyaman. Dengan kedudukan Hj.Sri Lestari mendampingi suaminya Sulkarnain Kadir (Wali Kota Kendari), telah membawanya untuk menjadi perempuan untuk ‘lebih dalam’ menghayati arti pengabdian pada Kota Kendari.

Menurut Merlin Guluh, sifat ibu Hj.Sri Lestari itu adalah kerja keras, sabar, ikhlas, dan kuat mental. Sifat itu menjadi modal untuk menjadi pendamping Sulkarnain. Soalnya, memiliki kesempatan untuk cepat meresapi, menangkap inti masalah melalui pengalaman-pengalaman konkrit di lapangan. Artinya, dengan posisi saat ini lebih dimaknai sebagai tanggung jawab luar biasa, ketimbang posisi yang terhormat. (*)

  • Penulis Adalah Guru Besar FISIP UHO & Ketua Cab.AIPI Kendari

Tinggalkan Balasan