Dampak Pertambangan di Kolut : Tambak Rusak, Warga Hanya Dapat Uang Debu

KENDARINEWS.COM — Keprihatinan terhadap dampak yang timbul akibat aktivitas pertambangan pada tiga kecamatan di Kolaka Utara (Kolut) diperlihatkan pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Persoalan yang berlarut-larut dan berkepanjangan itu membuat unsur pimpinan serta jajaran Komisi II mengambil inisiatif mendatangi Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Wilayah Sulawesi.

Ketua Komisi II DPRD Kolut, Mustamrin Saleh, mengatakan, inisiatif itu sekaligus tindak lanjut menjawab aspirasi masyarakat terkait dugaan kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan yang tidak terkendali di Lasusua, Batu Putih dan Tolala. Para wakil rakyat itu ingin agar ada kepastian status dari setiap dari dampak yang ditimbulkan. “Jika masih bisa, dicegah. Agar tidak berdampak meluas,” harap Mustamrin Saleh. Dalam kunjungan tersebut, mereka diterima langsung Kepala Balai Gakkum LHK, Dodi Kurniawan.

Hal pertama dari dampak pertambangan yang disampaikan ke pihak Balai Gakkum adalah merosotnya produksi tambak di Desa Latowu, Batu Putih akibat pencemaran. Termasuk lahan persawahan yang ditinggalkan, hingga air sungai dan pesisir laut memerah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga berpotensi terjadi akibat aktivitas tambang, karena merubah ekosistem kawasan, bentangan alam hingga kawasan pesisir laut. Itu mencakup wilayah Lasusua maupun Tolala. Langkah pertama yang disarankan pihak Balai Gakkum LHK Wilayah Sulawesi melalui DPRD Kolut yang harus dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) adalah, membentuk tim yang terdiri dari minimal enam orang. Pemerintah perlu mengutusnya ke LHK untuk dilatih sebagai Pengawas Lingkungan.

“Jika ada upaya untuk mencegah, mengapa harus dibiarkan karena ini menyangkut kemaslahatan orang banyak. Lebih baik bertindak sekarang dari pada tidak sama sekali,” tegasnya. Petani Tambak di Desa Latowu, Kecamatan Batu Putih, Nang (32) mengatakan, sebelum tambang datang, dalam setiap bulan ia bisa memanen hingga satu ton udang senilai Rp 45 juta. Kini ia hanya panen kerugian dengan rata-rata pendapatan hingga Rp 7 juta. “Tetangga saya itu sudah berumput tambaknya, tidak dikerja lagi. Kita hanya dikasih uang debu (kompensasi) Rp 500 ribu per tongkang ore,” bebernya.

Tambak Nang memang berada tepat di sisi jalan jetty milik PT Kasmar Tiar Raya. Wilayah itu memang kawasan tambak, namun air sungai yang mereka gunakan mengairi kolam produksinya sudah berwarna merah. Data luas tambak yang terdampak aktivitas tambang di Latowu berdasarkan Dinas Perikanan Kolut tercatat seluas 207,5 hektare, di luar perikanan air tawar 20 hektare. Sebelum pertambangan aktif kembali 2018 lalu, jumlah hasil panen sebanyak 2.371,77 ton. Itu sesuai pencacatan statistik instansi teknis tersebut.

Bukan hanya di Batu Putih, di Desa Sulaho telah terjadi pencemaran air muara dan perairan laut hingga saat ini. Itu diperkuat dengan SK KLH RI bernomor B12492/Dep.V/LH/HK/11/2013 yang ditujukan kepada pihak PT CSM. Perusahaan tersebut masih beroperasi hingga saat ini sejak aktif kembali 2020 lalu melakukan pengiriman ore nikel, meski tanpa terminal khusus (Tersus). (b/rus)

Tinggalkan Balasan