--Bola Pinoama: Bahasa, Budaya dan Bola yang Menyatukan by. Anggoro Haris
KENDARINEWS.COM–Di tengah gegap gempita dunia perfilman nasional yang semakin modern dan digital lewat genre populer, Alan, sineas kawakan dari Lande justru memilih kembali ke akar; bahasa dan budaya lokal. Ia menyuarakan keresahannya tentang semakin tergerusnya bahasa daerah, khususnya bahasa Wolio di kalangan generasi muda melalui film pendek teranyar garapan ASJKG Visual Studio berjudul Bola Pinoama.

Bola Pinoama menjadi bagian dari ambisi sinematik demi menghadirkan wacana publik yang lebih koheren dan bermartabat dari Alan, sutradara sekaligus pendiri ASJKG Visual Studio. Sebelumnya ia berhasil mengeksplorasi genre laga, mulai dari Balaba Buton hingga Lakarambau, film bernuansa martial arts dan epic sejarah yang menyentuh akar identitas.
Inspirasi Bola Pinoama muncul dari observasi sederhana, anak-anak yang bermain bola di sekitar Benteng Keraton Buton. Di sanalah Alan melihat kehidupan yang terus bergerak, tetapi tanpa lagi membawa serta warisan budaya yang seharusnya menjadi bagian dari identitas mereka.
“Saya melihat seorang ibu sedang mengajari anaknya beladiri, anak-anak bermain, dan tiba-tiba saya disergap pertanyaan, mengapa mereka tidak berinteraksi dalam bahasa Wolio?” katanya. Dari keresahan itu, muncul ide untuk membuat film pendek yang ringan, lucu, namun menyimpan pesan kuat tentang pelestarian budaya.
Dalam narasi film, adegan tiga bocah; La Nane (Husain Al Faruq), Tomi (El Razi Syahputra) dan Wa Ati (Kiandra Azkadina) yang sedang bermain bola menjadi koridor utama. Saat sedang asik bermain, bola menggelinding liar dan mendarat tepat di kolong rumah seorang lelaki tua yang misterius. Membawa karakter old school, pria misterius itu hanya fasih berbicara dalam Bahasa Wolio. Narasi ini serta merta membangkitkan kembali nuansa anak-anak angkatan 90-an dan realitas sosial bahwa sosok yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa ibu itu masih eksis.
Disitulah cerita bermula. Ketika La Nane harus bertanggungjawab mengambil bola dan diperhadapkan dengan pria misterius yang hanya berbicara dengan Bahasa Wolio.
Bola Pinoama merekam kejadian itu bukan sekadar sebagai kisah anak-anak, melainkan sebagai tanda tanya besar, masihkah bahasa daerah kita bertahan untuk dituturkan di tengah gempuran bahasa emoji dan algoritma?.
Seikh Jaelani, yang karib disapa Alan, tidak sedang bernostalgia. Ia resah. Dalam riset singkatnya sebelum proses produksi, hanya sekitar 30% masyarakat Buton yang masih memahami bahasa Wolio. Sebagian besar penutur pasif. Bahkan di kalangan anak-anak, bahasa leluhur ini terasa lebih asing daripada lagu-lagu K-pop.
“Kalau terus begini, lima atau sepuluh tahun lagi bisa-bisa hilang itu bahasa kita,” ujar Director Legenda Pagere-gere itu. Ia tak sedang melebih-lebihkan.
Meski Bola Pinoama bukan proyek pertamanya yang mengangkat tema lokalitas. Tetapi film ini terasa berbeda: lucu, menggemaskan, namun sekaligus getir. Cerita tentang anak-anak yang harus belajar bahasa Wolio demi mengambil bola dari seorang pinoama (sebutan paman), bukan sekadar premis jenaka. Ia menjelma menjadi metafora tentang bagaimana kita — generasi yang merasa sibuk — telah terlalu jauh dari bahasa sendiri.
“Anak-anak sekarang kalau salah bicara bahasa daerah, langsung diketawai. Dibilang kampungan lah. Jadi mereka malas belajar. Padahal salah itu lumrah, yang penting jangan dimatikan semangatnya,” katanya.
Pemutaran film Bola Pinoama secara perdana berlangsung di pelataran Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Baubau, Rabu, 23 Juli lalu. Film pendek berdurasi 32 menit ini memang tidak tampil megah. Tapi justru di balik kesederhanaannya, ia menyimpan lapisan-lapisan makna yang dalam. Penonton disuguhkan persahabatan lintas budaya antara Wa Ati (anak Wolio), Tomi (anak Jawa), dan La Nane — tiga anak SD yang dengan cara mereka sendiri menavigasi dunia yang kompleks; dunia bahasa, identitas, dan tanggung jawab.
Ketika bola kesayangan Tomi masuk ke pekarangan pria misterius yang hanya fasih berbicara dalam bahasa Wolio, mereka terpaksa belajar. Mencari siapa pun yang bisa menerjemahkan. Dipertemukanlah mereka dengan Wa Ina. Proses belajar itu kemudian mengantarkan La Nane pada kompetisi Tula-tula, sebuah gerakan literasi untuk bercerita dalam Bahasa Wolio. Di momen ini La Nane bertemu secara langsung dengan pria misterius itu (pinoama).
“Si Wa Ina ini seperti jembatan,” kata Alan. “Dia simbol bahwa masih ada orang-orang tua yang mau mengajari dengan sabar. Bukan yang malah mempermalukan.”
Produksi film ini, seperti halnya karya indie lain, tidak lepas dari tantangan. Salah satunya ialah kondisi cuaca. Hari pertama syuting diguyur hujan. Namun dalam tiga hari, mereka menuntaskan semua adegan. Tantangan terberat datang dari proses belajar, pengalaman para pemeran belajar Bahasa Wolio dengan teks panjang dan dalam waktu yang pendek. “Kami latih mereka di depan kaca, supaya bisa ekspresif. Menghafal dialog, juga belajar bahasa Wolio,” kata Alan.
Apresiasi datang dari Fasilitator Anak Kota Baubau, Suhardiyanto. Di tengah masifnya pengaruh budaya luar yang masuk ke Indonesia, film pendek Bola Pinoama menjadi suluh literasi tentang pentingnya identitas bangsa dan daerah yang kian memudar. “Film ini tidak saja menceritakan kegetiran La Nane yang berjuang belajar bahasa Wolio, tapi juga menggetarkan kesadaran generasi hari ini untuk peduli dengan akar budayanya,” ujar Suhardiyanto.
Mengambil latar kehidupan masyarakat Wolio (Kota Baubau saat ini), film ini menghadirkan simbol-simbol kultural yang kuat, mulai dari permainan tradisional hingga bahasa daerah yang nyaris terlupakan. Visual yang ditampilkan tidak sekadar menjadi estetika sinematik, tetapi juga menjadi medium edukasi yang mengajak penonton merefleksikan siapa diri mereka dan dari mana mereka berasal. Bola Pinoama seakan menjadi ajakan halus namun tetap powerfull, bahwa melestarikan budaya bukanlah tugas masa lalu, melainkan tanggung jawab hari ini.
Meski berlatar lokal, mimpi Alan mengangkasa. “Bermimpilah setinggi-tingginya, jika jatuh, kamu jatuh di antara bintang-bintang,” ujarnya penuh metafora, sebagaimana yang ia kutip dari komika Raim Laode.
Maka ia menyebut nama-nama besar seperti Christopher Nolan, James Cameron, dan tentu, Joko Anwar sebagai inspirasinya. Tapi dia tidak meniru. Ia hanya ingin memperlihatkan bahwa cerita dari kampung pun punya tempat di panggung besar.
“Saya ingin Sulawesi Tenggara ini punya suara di perfilman. Budaya kita ini jangan cuma jadi bahan upacara seremonial. Lewat film, kita bisa membuatnya hidup,” ujar Alan.
Film Bola Pinoama belum tayang di bioskop nasional. Masih diputar terbatas. Ini yang kemudian menjadi kendala klasik para sineas, akses distribusi, promosi dan ekshibisi yang terbatas. Tapi respon awal sangat menggembirakan. Pemutaran di halaman kantor Dikbud Kota Baubau menarik ratusan penonton. Anak-anak tertawa. Orang tua terdiam. Beberapa bahkan mulai menyebut kata-kata Wolio yang dulu hanya mereka ucapkan saat kecil.
Alan sadar, film ini bukan jawaban akhir. Tapi setidaknya, ia membuka pintu. Memberi alasan bagi anak-anak untuk kembali menyapa bahasa yang nyaris mati. Dengan tawa, dengan bola, dan dengan rasa ingin tahu yang tidak pernah bisa diajarkan di ruang kelas.(agr)









































