Jika Sistem Pemilu Berubah, Merugikan Kontestan

Dosen UI: Jangan Ubah Sistem di Tengah Jalan

KENDARINEWS.COM – Sejauh ini, Mahkamah Konstitusi (MK) belum juga memutuskan tentang sistem pemilu. Apakah proporsional tertutup ataukah terbuka. Padahal, keputusan itu ditunggu. Terutama oleh parpol. Sebab, meski parpol sudah mendaftarkan nama-nama bakal calon legislatif (bacaleg) ke KPU, belum ada nomor urut bacaleg yang bersangkutan.

Menanggapi itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Sri Budi Eko Wardani menyatakan, keputusan sistem pemilu seharusnya tidak bisa ditetapkan di tengah jalan atau ketika proses rangkaian pemilu sudah berjalan.

Dengan sistem pemilu tertutup, pemilih hanya mencoblos logo atau gambar partai. Sistem tersebut berjalan pada 1971–1997. Sementara itu, sistem yang berjalan seperti Pemilu 2019 adalah proporsional terbuka. Artinya, pemilih mencoblos nama calon legislatif secara langsung atau bisa juga parpol.

Menurut Wardani, memang selalu ada perdebatan dalam setiap revisi UU Pemilu. Pada 2017 juga muncul kelompok yang mendukung sistem pemilu terbuka dan sebaliknya. ”Tapi, menurut saya, keputusan ini tidak bisa diputuskan di tengah jalan. Tunggu saja sampai Pemilu 2029 dengan revisi UU Pemilu,” ujarnya, kemarin.

Wardani menilai perubahan sistem pemilu yang fundamental itu tidak bisa diterapkan saat ini. Sebab, para bacaleg sudah masuk ke KPU. Jika sampai ada perubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup, hal itu bakal merugikan para kontestan. Termasuk bagi caleg perempuan yang jumlahnya tidak sebanyak laki-laki.

Sebelumnya, Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay, mengatakan jika sistem kembali ke proporsional tertutup, pesta demokrasi tidak bisa berjalan dengan seru. Sebab, masyarakat tidak mengetahui siapa yang mereka pilih. Berbeda dengan sistem terbuka, semua orang bisa menonton.

Pada 2008, MK pernah memutuskan dari sistem tertutup menjadi terbuka. Saleh menegaskan bahwa putusan MK itu final dan mengikat. Jadi, aneh kalau kemudian diputuskan kembali ke tertutup. ”Maka PAN sungguh-sungguh minta pemilu yang akan datang proporsional terbuka,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas,
mengataka Partai Demokrat tetap konsisten dengan sistem proporsional terbuka. Sebab, sistem terbuka adalah sistem terbaik. Partai politik juga sudah mengikuti tahapan-tahapan pemilu. Mereka siap menghadapi pilpres dan pileg yang digelar pada 14 Februari 2024.

Partai Demokrat bersama tujuh partai di parlemen mengingatkan kepada hakim-hakim MK agar memutuskan yang terbaik untuk bangsa. ”Yang bisa mengganti (sistem pemilu) seperti yang diamanatkan UU adalah parlemen dan pemerintah,” tegas putra Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.

Apabila MK mengeluarkan putusan sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup, itu akan menimbulkan kegaduhan dan berimplikasi pada proses teknis lapangan. ”Dan juga teknis persiapan-persiapan pemilu yang akan menyulitkan parpol,” papar Ibas.

Terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono menegaskan, aspek tahapan pemilu akan dipertimbangkan majelis. Dalam memutus uji materi, para hakim akan melihat kondisi, termasuk tahapan yang sudah masuk pendaftaran caleg.

”Ya itu (pendaftaran caleg) menjadi bahan pertimbangan majelis. Barangkali, hakim punya pertimbangan kapan ini harus diputus, mungkin tahapan, momentum, dan sebagainya,” katanya. Namun, untuk kepastiannya, lanjut Fajar, hanya sembilan hakim konstitusi yang mengetahui. (wan/c18/hud/lum/far/c17/fal)

Tinggalkan Balasan