KENDARINEWS.COM — Jaringan GUSDURian menolak keputusan pemerintah yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Penolakan ini disampaikan langsung oleh Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, yang menilai Soeharto tidak memenuhi kriteria moral dan integritas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Dalam keterangan tertulis pada Senin (10/11), Alissa menegaskan bahwa rekam jejak Soeharto selama 32 tahun berkuasa justru mencederai nilai-nilai kepahlawanan. “Selama berkuasa, Soeharto terlibat dalam berbagai tindakan yang mencederai nilai-nilai kepahlawanan,” ujarnya. Dikutip dari JawaPos.com
Menurut Alissa, rezim Orde Baru di bawah kendali Soeharto telah meninggalkan catatan kelam berupa pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, represi politik, dan pembungkaman kebebasan sipil. “Itu membuatnya tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan seperti dimaksud Pasal 25 UU No. 20 Tahun 2009,” tegas putri sulung Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ia menilai, keputusan pemerintah memberi gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi dan semangat reformasi yang justru menumbangkan rezim otoritarian tersebut. “Kami menolak secara tegas pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi dan reformasi,” tandas Alissa.
Lebih lanjut, Alissa menyayangkan langkah Presiden Prabowo Subianto dan jajaran pemerintah yang dianggap tidak bijak dalam mengambil keputusan tersebut. Ia menilai, pemberian gelar itu lebih didorong oleh relasi politik dan keluarga, bukan pertimbangan objektif dan moral.
GUSDURian pun mendesak pemerintah agar lebih selektif dan arif dalam menetapkan gelar pahlawan di masa mendatang, dengan menegakkan nilai moral dan kemanusiaan. “Gelar pahlawan hanya pantas diberikan kepada mereka yang berkorban demi kemaslahatan rakyat, bukan yang mengorbankan rakyat atas nama kekuasaan,” kata Alissa.
Momentum Hari Pahlawan 10 November 2025, kata Alissa, seharusnya menjadi ajang untuk meneladani perjuangan tokoh bangsa, bukan membuka luka lama masa lalu. “Bukan jabatan dan kekuasaan yang menentukan seseorang layak disebut pahlawan, melainkan karakter moral dan tindakan yang menjaga harkat martabat manusia,” tutupnya.








































