KENDARINEWS.COM –Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti desakan masyarakat terkait percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Dasco mengaku sudah menerima langsung aspirasi tersebut dalam audiensi bersama perwakilan mahasiswa di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (3/9). Menurutnya, RUU Perampasan Aset baru bisa masuk ke meja pembahasan setelah penyelesaian Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
“Terakhir kami sampaikan tinggal menunggu KUHAP selesai, [selanjutnya] kita akan bahas RUU Perampasan Aset,” ujar Dasco dikutip dari cnn indonesia.
Ia menegaskan, pembahasan RKUHAP harus diprioritaskan untuk mencegah adanya tumpang tindih aturan. Hal ini lantaran RUU Perampasan Aset bersinggungan dengan sejumlah regulasi lain, seperti UU Tipikor, UU TPPU, hingga aturan perampasan aset.
Saat ini, RKUHAP masih dalam tahap penjaringan aspirasi publik di Komisi III DPR. Dasco menyebut sudah ada batas waktu yang ditetapkan agar pembahasan RKUHAP segera tuntas.
“Nah, ini RKUHAP masih menerima partisipasi publik, tapi kami sudah sampaikan kepada pimpinan Komisi III bahwa sudah ada batas limit yang mesti kita selesaikan,” katanya.
Dasco menargetkan RKUHAP bisa selesai pada pertengahan September mendatang, atau sebelum akhir masa sidang DPR. Dengan begitu, pembahasan RUU Perampasan Aset bisa langsung dimulai bersama pemerintah.
“Mudah-mudahan sebelum akhir masa sidang ini untuk KUHAP sudah dapat diselesaikan, sehingga kita bisa langsung masuk ke pembahasan RUU Perampasan Aset,” jelasnya.
RUU Perampasan Aset sendiri sudah lama mangkrak meski naskah akademiknya disusun sejak 2008. RUU ini baru masuk kembali dalam Prolegnas Prioritas 2023, setelah Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (surpres) bernomor R 22-Pres-05-2023 pada 4 Mei 2023. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut konkret.
Bila disahkan, RUU Perampasan Aset akan memberi kewenangan negara untuk menyita aset bernilai minimal Rp100 juta, termasuk milik penyelenggara negara yang dianggap tidak wajar, bahkan tanpa harus melalui proses pidana terlebih dahulu.(*)








































