Jika Kotak Kosong Kalahkan Calon Tunggal di Pilkada 2024, Ini Paparan KPU

Kendati demikian, lanjut dia, hal tersebut menjadi tantangan besar bagi calon kepala daerah. Pasalnya, calon kepala daerah dipersyaratkan untuk meraih suara 50 persen lebih satu suara untuk memenangkan pertarungan. 

“Sementara itu gerakan memenangkan kotak kosong itu sudah mulai bermunculan didaerah yang akan melaksanakan Pilkada dengan satu calon tunggal. Sebenarnya ini tantangan berat bagi calon tunggal,” ungkap Awaluddin Ma’ruf.

Sebelumnya, Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI akhirnya menyepakati bahwa jika kotak kosong menang atas calon tunggal saat Pilkada tahun ini, maka akan digelar Pilkada ulang pada 2025.

Dengan kata lain, Pilkada ulang akan digelar jika calon tunggal pasangan kepala daerah mendapat total suara dibawah 50 persen.

“Daerah dengan pilkada hanya terdiri dari satu pasangan calon dan tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen, kami  menyetujui pilkada diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, seperti dikutip dari jawapos.com.

Selanjutnya, RDP juga memutuskan Komisi II DPR RI akan membahas lebih lanjut bersama Kemendagri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP RI mengenai Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur penyelenggaraan pilkada dengan diikuti oleh satu pasangan calon. “Nanti kita lanjutkan tanggal 27 September untuk draf PKPU-nya,” kata Doli sebelum menutup RDP Komisi II tersebut.

Sebelumnya, KPU mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah pada Pilkada tahun ini. Secara rinci, 41 daerah itu terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten dan lima kota.

Sementara itu, Peneliti bidang politik The Indonesian Institute (TII) Felia Primaresti menilai maraknya kotak kosong dalam Pilkada tahun ini merupakan wujud dari inkonsistensi demokrasi.

Menurutnya, namanya demokrasi, harus ada pilihan sebanyak mungkin. Jika tidak, maka esensinya berkurang. “Esensi demokrasi itu adalah menciptakan pilihan sebanyak-banyaknya. Tanpa kompetisi, esensi demokrasi berkurang karena tidak ada ruang untuk debat atau evaluasi atas berbagai alternatif,” kata Felia.

Tidak hanya itu, fenomena kotak kosong menjadi bukti bahwa partai politik telah gagal melahirkan kader-kader yang berkualitas untuk bersaing dalam Pilkada.

“Fenomena seperti ini bisa terjadi karena partai politik tidak serius dalam mempersiapkan kader yang kompeten, dan kemudian juga diperparah dengan munculnya satu koalisi besar yang seolah mengaburkan pilihan dan persaingan yang kompetitif,” imbuhnya.

Felia khawatir, akibat adanya fenomena kotak kosong ini, hubungan antara pemimpin dan rakyat bisa melemah, dan lebih buruk lagi, masyarakat akan semakin tidak percaya terhadap institusi politik.(ags/jpg)

Tinggalkan Balasan