KENDARINEWS.COM–Menjalankan ibadah puasa bulan Ramadan adalah kewajiban bagi umat muslim. Meski demikian ini bisa tidak berlaku bagi orang sakit, wanita haid atau nifas, musafir atau orang dalam perjalanan jauh dan orang yang telah uzur.
Lantas, bagaimana dengan ibu hamil? Apakah boleh dan diwajibkan menjalankan puasa Ramadan?
Seperti dikutip dari islam.nu.or.id, dijelaskan bahwa ibu hamil memiliki ketentuan yang sama dengan orang yang sedang sakit dalam hal boleh-tidaknya meninggalkan puasa.
Dijelaskan tidak selamanya ibu hamil tak diwajibkan atau dibolehkan meninggalkan puasa Ramadan.
Hal tersebut tergantung dari kondisi kesehatan ibu hamil itu sendiri.
Seperti halnya orang sakit, ibu hamil secara umum memiliki tiga keadaan dengan konsekuensi hukum yang berbeda terkait wajib-tidaknya menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Tiga keadaan ini secara ringkas dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain:
فللمريض ثلاثة أحوال: إن توهم ضرراً يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر. وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر، وإن كان المرض خفيفاً بحيث لا يتوهم فيه ضرراً يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة، وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم، ومثله الحامل والمرضع ولو كان الحمل من زنا أو شبهة
“Bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa.
Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa.
Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah. Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat” (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, hal. 367)
Maksud dari bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum adalah sekiranya dengan berpuasa sakit yang sedang menjangkit akan bertambah lama sembuhnya atau menjadi semakin parah.
Hal demikian seperti disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami:
بأن يشق عليه الصوم معه أو خاف بسببه نحو زيادة مرض أو بطء برء أو غيرهما مما يبيح التيمم أخذا من قول الشيخين وحكاه في المجموع عن الأصحاب أن يجهده الصوم معه ويلحقه أو فيلحقه ضرر يشق احتماله على ما ذكرنا من وجوه المضار في التيمم
“Sekiranya dengan berpuasa akan terasa berat bagi orang yang sakit atau khawatir sebab puasa sakitnya akan bertambah parah, lama sembuh atau hal-hal lainnya yang dapat memperbolehkan bertayamum, berpijak pada pendapat Syaikhaini. Dikutip dalam kitab al-Majmu’ dari Ashab sekiranya seseorang akan merasa payah (lemas) dengan berpuasa dalam kondisi sakit lalu menimpa padanya bahaya yang berat ia menanggungnya, atas penjelasan yang telah aku sebutkan berupa berbagai macam bahaya dalam tayamum” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 2, Hal. 62)
Sedangkan dalam konteks perempuan hamil, tatkala dalam kondisi diperbolehkan tidak puasa, maka terkait kewajiban mengganti puasanya terdapat dua perincian.
Pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terhadap kondisi fisiknya atau khawatir kondisi fisiknya sekaligus kondisi kandungannya, maka dalam dua keadaan tersebut ia hanya diwajibkan mengqadha’i puasanya saja.
Kedua, ketika ia hanya khawatir pada kondisi kandungannya, dalam keadaan demikian ia berkewajiban mengqadha’i puasanya sekaligus membayar fidyah. Mengenai dua perincian ini, dalam Hasyiyah al-Qulyubi dijelaskan:
(وَأَمَّا الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا) مِنْ الصَّوْمِ. (عَلَى نَفْسِهِمَا) وَحْدَهُمَا أَوْ مَعَ وَلَدَيْهِمَا كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (وَجَبَ) عَلَيْهِمَا (الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ) كَالْمَرِيضِ. ((أَوْ) (عَلَى الْوَلَدِ) أَيْ وَلَدِ كُلٍّ مِنْهُمَا (لَزِمَتْهُمَا) مَعَ الْقَضَاءِ (الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ)
“Perempuan Hamil dan Menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit. Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-Adzhar” (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, hal. 76).
Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan khawatir terhadap kondisi kandungan jika tetap berpuasa, adalah kekhawatiran akan gugurnya kandungan jika ia tetap melaksanakan puasa sampai selesai, seperti disampaikan dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:
والمراد بالخوف على الولد: الخوف على إسقاطه بالنسبة للحامل
“Yang dimaksud dengan ‘khawatir pada kandungan’ adalah khawatir gugurnya kandungan (apabila melanjutkan puasa) bagi orang yang sedang hamil” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatho, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 273).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum asal melaksanakan puasa bagi perempuan hamil adalah wajib.
Namun kewajiban ini akan gugur tatkala ia memiliki dugaan (wahm) bahwa jika ia tetap berpuasa maka akan membahayakan terhadap kesehatannya, seperti akan bertambah sakit atau fisiknya akan drop.
Karena menentukan hal-hal di atas penuh perhitungan yang sangat tepat, maka sebaiknya ibu hamil tidak mengira-ngirakan sendiri tentang kondisi kesehatan fisiknya dan kesehatan kandungannya, melainkan meminta bantuan kepada dokter kandungan Muslim (bidan) yang mampu memperhitungkan apakah yang maslahat baginya adalah berpuasa atau tidak.
Bahkan bila sampai pada keyakinan atau dugaan kuat akan membahayakan fisik sang ibu dan keselamatan janin, ia wajib tidak berpuasa demi menjaga nyawa manusia (hifdh an-nafs).
Jika menurut dokter kandungan, puasa tidak mengganggu terhadap kesehatan fisiknya dan kandungannya maka tetap wajib baginya untuk berpuasa.
Sebaliknya, jika menurut dokter kandungan, berpuasa dapat berpotensi membahayakan fisik dan kandungan perempuan yang sedang hamil, maka kewajiban berpuasa menjadi gugur baginya.
Kriteria Ibu Hamil Tak Dianjurkan Berpuasa Ramadan
Dikutip herminahospitals.com ada beberapa kelompok ibu hamil yang tidak diperbolehkan berpuasa. Kelompok ibu hamil yang tak dibolehkan puasa karena mengganggu kesehatan ibu dan bayinya:
1. Pengidap Diabetes Melitus
Ibu hamil dengan diabetes harus menjalani pola hidup yang cukup baik agar tekanan gula darah tetap stabil. Selain untuk menjaga gula darah yang stabil, ibu hamil yang mengidap diabetes biasanya harus mengonsumsi obat secara teratur dan mengatur pola makan sesuai dengan jadwal yang disarankan dokter.
2. Mengeluarkan Flek atau Pendarahan
Pada saat sedang mengalami flek atau pendarahan, disarankan ibu hamil tidak melanjutkan puasanya. Dikhawatirkan pendarahan akan semakin parah jika ibu hamil tetap melakukan puasa. Selain pendarahan yang semakin parah, perkembangan dan kesehatan janin juga dikhawatirkan akan mengalami gangguan.
3. Gangguan Sistem Pencernaan
Jika ibu hamil sedang mengalami penyakit yang berhubungan dengan pencernaan, misalnya maag, ibu disarankan untuk tidak melakukan puasa. Ibu hamil yang memaksakan diri untuk puasa ditakutkan akan memperparah penyakit maag yang dialami. Tidak hanya untuk kesehatan ibu hamil saja, penyakit maag nyatanya juga bisa berbahaya untuk kesehatan janin.
4. Ibu Hamil yang Mengalami Dehidrasi
Rata-rata ibu hamil pada kehamilan trimester pertama akan mengalami morning sickness. Ternyata morning sickness bisa menyebabkan dehidrasi pada ibu hamil. Sebab, muntah dengan intensitas yang cukup sering dapat membuat cairan dalam tubuh terbuang, sehingga menyebabkan dehidrasi. Sebaiknya, ibu yang mengalami dehidrasi harus sering mengonsumsi air atau makanan yang banyak mengandung air.(fin/kn)






































