Oleh: Dr. Hj. Irma Irayanti, S.HI., M.Pd
(Dosen Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan IAIN Kendari)
KENDARINEWS.COM–Beberapa hari terakhir, kita menyaksikan jalan-jalan di berbagai kota Indonesia kembali dipenuhi lautan manusia. Mereka berteriak, berdesak, dan menggenggam spanduk—membawa suara kebenaran sekaligus amarah yang sulit dibendung. Pemandangan itu mengingatkan kita bahwa demokrasi memang punya dua wajah: ia bisa menjadi ruang artikulasi yang tulus, tetapi juga bisa berubah menjadi kerumunan yang kehilangan kendali.
Kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis Brimob, menambah luka kolektif bangsa ini. Affan bukan sekadar korban tabrakan di tengah kericuhan; ia adalah anak muda yang bekerja keras demi keluarganya, dan justru kehilangan nyawa di tengah benturan antara rakyat dan aparat. Namanya kini menjadi simbol, bahwa negara kerap abai dalam melindungi warganya ketika mereka hanya ingin menjalani hidup sederhana. Tragedi ini mengguncang rasa keadilan kita, dan sekaligus menelanjangi bahwa reformasi aparat yang digembar-gemborkan bertahun-tahun masih jauh dari kata selesai.
Di sisi lain, publik juga tersentak oleh tayangan dari Senayan. Sejumlah anggota DPR berjoget selepas Sidang Tahunan MPR. Bagi mereka mungkin itu sekadar hiburan ringan, tanda acara sudah usai. Tetapi bagi rakyat yang menonton dari layar kaca, simbol itu terasa menyesakkan. Bagaimana mungkin wakil rakyat bisa begitu riang, sementara jutaan keluarga sedang menghitung rupiah demi sekilo beras atau membayar uang sekolah anak? Ketidakpekaan semacam ini membuat jarak antara rakyat dan elite kian melebar.
Kontras terasa ketika kita membandingkannya dengan apa yang terjadi di belahan dunia lain. Hana-Rawhiti Maipi-Clarke, anggota parlemen muda di Selandia Baru, menampilkan tarian haka di ruang parlemen—sebuah ekspresi budaya yang sarat makna perjuangan dan martabat. Tarian itu menjadi bahasa politik yang kuat, mengingatkan parlemen bahwa mereka memikul amanah rakyat. Bandingkan dengan joget di Senayan yang malah dianggap publik sebagai panggung pesta di tengah kesusahan rakyat. Tarian bisa jadi bahasa perlawanan yang sakral, tetapi juga bisa berubah menjadi cermin ketidakseriusan ketika dipertontonkan tanpa empati.
Tak berhenti di sana, rakyat juga mengkritisi gaji dan tunjangan fantastis anggota DPR. Puluhan juta rupiah per bulan, lengkap dengan berbagai fasilitas, jelas terasa kontras ketika buruh menjerit menolak upah murah dan mahasiswa berteriak soal sulitnya lapangan kerja. Demonstrasi yang mengangkat isu gaji dewan sesungguhnya bukan sekadar tentang nominal, melainkan tentang rasa keadilan. Tentang perasaan ditinggalkan oleh mereka yang seharusnya hadir sebagai wakil, bukan sebagai kelompok istimewa.
Namun, marah sekalipun, kita tak boleh kehilangan akal sehat. Peristiwa pembakaran gedung DPRD di Makassar atau rumah aset MPR di Bandung seharusnya menjadi pengingat bahwa kemarahan bisa mudah berubah menjadi anarki yang justru merugikan rakyat sendiri. Gedung-gedung itu dibangun dari pajak masyarakat, dari keringat para pedagang kecil, guru honorer, nelayan, hingga pekerja serabutan. Membakarnya sama saja membakar hasil jerih payah kita sendiri.
Di sinilah paradoks itu hadir. Di satu sisi, suara mahasiswa, buruh, dan rakyat yang turun ke jalan sangat sah, bahkan mulia. Mereka membawa semangat reformasi 1998 yang pernah mengguncang rezim otoriter. Tetapi di sisi lain, tindakan anarkis hanya akan melemahkan legitimasi perjuangan itu sendiri. Demokrasi memberi ruang untuk menyampaikan kritik, tetapi kebebasan itu selalu datang dengan tanggung jawab.
Semua ini—tragedi Affan, joget di Senayan, gaji dewan yang fantastis, hingga aksi anarkis di Makassar dan Bandung—merupakan potongan mozaik wajah demokrasi kita hari ini. Wajah yang terluka, penuh kekecewaan, tetapi masih menyimpan harapan. Kita diajarkan dalam pendidikan kewarganegaraan bahwa demokrasi adalah keseimbangan: keberanian untuk bersuara, kesediaan untuk mendengar, dan kebijaksanaan untuk menjaga ruang publik bersama. Demokrasi sejati bukan hanya tentang siapa yang paling keras bersuara, melainkan juga tentang siapa yang mampu menahan diri.
Kini, tantangan terbesar ada di pundak para pejabat publik. Rakyat sudah bosan dengan janji, mereka menuntut bukti nyata keberpihakan. DPR harus membuka telinga, bukan justru meninggikan pagar kawat berduri. Pemerintah harus menunjukkan empati yang tulus, bukan sekadar basa-basi politik. Polisi harus menjadi pelindung, bukan momok. Dan masyarakat sendiri harus menjaga agar perjuangan tetap bermartabat, bukan berubah menjadi kerusuhan yang mencederai cita-cita.
Indonesia sedang berdiri di persimpangan jalan. Jika pejabat memilih jalan empati, jika aparat memilih jalan humanis, dan jika rakyat menjaga agar demonstrasi tetap beradab, maka kepercayaan publik bisa dipulihkan. Jika tidak, maka tragedi demi tragedi akan terus berulang.
Di momen yang penuh luka ini, mungkin bijak kita mengingat pesan Socrates berabad-abad lalu: “Four things belong to a judge: to hear courteously, to answer wisely, to consider soberly, and to decide impartially.” Pesan itu sederhana, tetapi sangat relevan bagi siapa pun yang memegang kekuasaan. Dengarkanlah rakyat dengan sopan, jawab aspirasi dengan kebijakan yang bijak, pertimbangkan dengan tenang, lalu putuskan dengan adil. Hanya dengan itu, suara kebenaran tak akan berubah menjadi anarki, melainkan menjadi energi untuk Indonesia yang lebih baik.
