KENDARINEWS.COM– Sejak abad ke-14, tenun Buton telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Buton. Lebih dari sekadar kain, tenun ini adalah perekat sosial, penanda identitas, dan warisan kerajaan yang tetap lestari hingga kini.

Ketua Dekranasda Kabupaten Buton, Maimuna Moko Syarifuddin Saafa, bersama para pendahulunya, tak henti-hentinya mempromosikan tenun Buton di berbagai ajang, mulai dari Festival Keraton Kesultanan Buton hingga Kriya Nusa. Upaya ini membuahkan hasil, dengan semakin banyaknya permintaan akan tenun Buton, baik untuk sarung, jubah, selendang, pakaian, hingga pernak-pernik oleh-oleh.
“Kita buat sesuai pesanan. Dulu hanya sarung atau jubah, sekarang lebih sering. Ada juga yang minta untuk pakaian sekolah, pakaian pegawai. Alhamdulillah, lumayan juga pemasukannya,” ujar Wa Ode, seorang pengrajin tenun Buton dari Kecamatan Wabula, pusat industri kreatif tenun di Buton.
Motif dan warna tenun Buton pun kaya akan makna. Motif panjang melingkar untuk wanita, motif kotak-kotak untuk pria. Warna-warna alami dari getah kayu pilihan menambah keunikan tenun ini. Bahkan, kain tenun juga bisa menjadi penanda strata sosial, seperti motif Kasopa untuk kalangan biasa dan Kumbaea untuk bangsawan.
Ketua Dekranasda Sultra, Arinta Andi Sumangerukka, menegaskan komitmennya untuk mendukung pengembangan sektor kerajinan di Sulawesi Tenggara, termasuk tenun Buton. “Tenun khas daerah merupakan bagian dari kekayaan budaya daerah yang harus dilestarikan,” ujarnya.







































