37 Pengembang Protes Status Lahan Sawah Dilindungi, Menteri ATR/BPN Pastikan Data Ditertibkan

KENDARINEWS.COM-Sejumlah 37 pengembang properti menyoroti penetapan status Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang dianggap tidak selaras dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). LSD merupakan bagian dari Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), yang memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyebutkan bahwa terdapat 314 kabupaten/kota di Indonesia yang RTRW-nya belum mencantumkan KP2B. Kondisi ini menyebabkan sejumlah pengembang melakukan tindakan yang dianggap “ugal-ugalan” terkait lahan sawah.

Menurut Nusron, terdapat dua jenis Lahan Sawah Dilindungi:

  1. Lahan yang fisiknya sudah tidak berupa sawah, tetapi dalam peta masih tercatat sebagai sawah. Lahan ini akan ditertibkan datanya, sehingga status LSD bisa dihapus jika memang sudah tidak berfungsi sebagai sawah.
  2. Lahan yang fisiknya masih sawah, tetapi secara data sudah tidak tercatat sebagai sawah. Lahan ini akan direviu ulang untuk mengembalikan fungsinya, baik secara fisik maupun data.

“Jadi sebenarnya yang menjadi tuntutan pengembang itu terkait dua jenis lahan tersebut,” jelas Nusron saat menghadiri Sarasehan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional 2025 di Jakarta Selatan, Kamis (6/11/2025) yang dikutip dari Kompas.com.

Nusron menegaskan bahwa penataan RDTR dan RTRW sesuai ketentuan LSD bertujuan untuk mengendalikan alih fungsi sawah demi ketahanan pangan. “Kalau sawahnya hilang, nanti kita tidak punya produksi yang melimpah,” ujarnya.

Selain itu, Menteri Keuangan akan melakukan intervensi percepatan penyelesaian 1.200 RDTR di seluruh Indonesia dengan alokasi anggaran Rp 3 miliar per dokumen. Dari target nasional 2.000 dokumen RDTR, saat ini baru 669 dokumen yang terselesaikan.

Protes dari Para Pengembang

Pertemuan antara 37 pengembang senior digelar di kediaman Ketua Kehormatan organisasi realestat Indonesia pada Rabu (29/10/2025). Para pengembang menyoroti bahwa penetapan LSD lebih mengacu pada kondisi fisik tanah daripada RDTR dan RTRW, yang seharusnya menjadi acuan sesuai UU.

Anggota pengurus organisasi tersebut menilai bahwa pengabaian tata ruang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengembangan properti. Politisi senior yang hadir menegaskan bahwa pejabat negara wajib mematuhi undang-undang, karena setiap keputusan memiliki konsekuensi hukum.

Selain itu, para pengembang juga mendiskusikan opsi realistis terkait penerapan hunian berimbang sebagaimana diatur UU Cipta Kerja, yang mengatur komposisi rumah sederhana, menengah, dan mewah di satu hamparan. Beberapa alternatif yang diusulkan meliputi:

  • Pembayaran dana konversi sebagai pengganti pembangunan fisik.
  • Penentuan lokasi hunian berimbang dapat dilakukan di seluruh Indonesia, tidak terbatas di satu kabupaten/kota.
  • Penempatan hunian berimbang di provinsi yang sama sebagai opsi lain.

Pertemuan ini menandai upaya dialog antara pengembang dan pemerintah terkait pengaturan LSD, ketahanan pangan, dan pembangunan hunian berimbang di Indonesia.

Tinggalkan Balasan