KENDARINEWS.COM — Para pemimpin oposisi Kamerun menolak hasil pemilihan presiden yang memperpanjang masa jabatan Presiden Paul Biya (92) selama tujuh tahun, dikutip dari SINDONews.com. Mereka menyatakan hasil tersebut tidak mencerminkan keinginan rakyat di negara yang telah lama bergulat dengan konflik separatis.
Dewan Konstitusi Kamerun pada Senin menetapkan Biya sebagai pemenang dengan lebih dari 53% suara. Keputusan ini bersifat final dan tidak dapat diajukan banding, membuat Biya memimpin untuk periode kedelapan. Hasil ini memicu protes keras di beberapa kota, terutama di Douala, pusat komersial negara penghasil minyak dan kakao tersebut.
Penantang utama Biya, Issa Tchiroma Bakary, sebelumnya mengklaim kemenangan dan menegaskan tidak akan menerima hasil lain. Pendukungnya turun ke jalan, bentrok dengan polisi anti huru hara, membakar ban, dan memblokir jalan-jalan. Menurut pihak oposisi, protes menewaskan sedikitnya enam orang selama akhir pekan hingga Senin.
Sementara itu, basis pendukung Biya merayakan kemenangannya dan menteri pemerintah mengadakan pesta. Jalanan Douala yang biasanya ramai tetap sepi pada Selasa karena hujan dan pengawasan ketat aparat keamanan.
Uni Eropa menyatakan “keprihatinan yang mendalam” atas penindasan protes yang disertai kekerasan dan meminta pihak berwenang menahan diri dari penggunaan kekuatan berlebihan. Uni Eropa juga mendesak pemimpin nasional untuk melakukan dialog guna menjaga stabilitas.
Para tokoh oposisi menuduh terjadinya penipuan pemilu yang meluas. Mantan calon presiden Akere Muna mengecam proses tersebut sebagai penipuan dan menuduh Dewan Konstitusi “tidak lebih dari stempel tirani.” Muna bahkan menyoroti angka partisipasi tidak wajar di wilayah berbahasa Inggris yang terdampak konflik separatis sejak 2017 sebagai bukti kecurangan.
Tomaino Ndam Njoya, kandidat perempuan yang menempati posisi kelima, menyatakan, “Itu adalah penyitaan pilihan rakyat oleh kepentingan-kepentingan yang menolak transparansi dalam proses demokrasi. Saya dengan sungguh-sungguh menolak hasil ini.”
Di tengah ketegangan, Cabral Libii, kandidat peringkat ketiga, tetap mengucapkan selamat kepada Biya atas kemenangannya. Warga Douala bersiap menghadapi potensi kerusuhan berikutnya, meski cuaca buruk dan polisi bersenjata membubarkan sebagian besar pengunjuk rasa kecil pada Selasa sore.
Jean-Pascal, seorang warga Douala, menggambarkan terpilihnya kembali Biya sebagai “kemenangan yang dicuri,” menekankan bahwa rakyat menolak pemerintah yang telah memimpin lebih dari empat dekade tanpa membawa kemajuan berarti. (*)








































