Catherine Connolly, Presiden Irlandia yang Vokal Perjuangkan Perdamaian dan Palestina

KENDARINEWS.COM — Irlandia resmi memiliki presiden baru untuk tujuh tahun ke depan. Catherine Connolly, politisi independen berhaluan kiri yang dikenal vokal membela Palestina dan kritis terhadap kebijakan Uni Eropa, memenangkan pemilihan presiden dengan hasil telak pada Sabtu (25/10/2025).

Dikutip dari SINDOnews.com, Connolly, 68 tahun, memperoleh 63 persen suara, mengalahkan pesaingnya dari sayap kanan-tengah, mantan menteri kabinet Heather Humphreys. Kemenangannya didukung oleh partai-partai oposisi berhaluan kiri, termasuk Sinn Féin, yang memandang Connolly sebagai simbol perubahan politik dan suara bagi keadilan sosial di Irlandia.

Meski jabatan presiden di Irlandia bersifat seremonial, Connolly diharapkan menjadi figur kuat di panggung dunia, menggantikan Michael D. Higgins, presiden dua periode yang juga dikenal vokal terhadap isu Gaza dan kebijakan NATO. Dalam pidato kemenangannya di Dublin Castle, Connolly berjanji akan menjadi “presiden yang inklusif” serta “suara bagi perdamaian dan keberagaman.”

Lahir di kota Galway, Connolly tumbuh besar di keluarga besar kelas pekerja sebagai salah satu dari 14 bersaudara. Setelah menempuh pendidikan di bidang psikologi klinis dan hukum, ia bekerja sebagai pengacara sebelum terjun ke dunia politik. Karier politiknya dimulai ketika terpilih sebagai anggota Dewan Kota Galway dari Partai Buruh pada 1999. Ia kemudian menjadi wali kota Galway pada 2004 sebelum keluar dari partai tersebut pada 2007 dan memilih jalur independen.

Sejak 2016, Connolly telah menjabat tiga periode sebagai anggota parlemen untuk wilayah Galway Barat. Pada 2020, ia mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat wakil ketua majelis rendah parlemen Irlandia.

Connolly dikenal karena sikap politiknya yang tegas terhadap isu kemanusiaan. Ia kerap mengkritik Israel atas serangan ke Gaza dan menyebut agresi tersebut sebagai bentuk genosida terhadap rakyat Palestina. Meski sempat menuai kecaman karena menyebut Hamas sebagai “bagian dari struktur rakyat Palestina,” Connolly menegaskan bahwa dirinya menolak kekerasan dari semua pihak dan menyerukan penyelesaian damai.

Selain itu, Connolly juga kerap menyoroti kebijakan Uni Eropa yang dianggapnya semakin militeristik pascainvasi Rusia ke Ukraina. Ia memperingatkan agar Eropa tidak mengulangi kesalahan sejarah era 1930-an dan menolak ekspansi NATO di Eropa Timur. Connolly menegaskan bahwa Irlandia harus mempertahankan tradisi netralitas militernya, serta menyerukan diadakannya referendum jika pemerintah berencana menghapus mekanisme “triple lock” syarat bagi keterlibatan militer Irlandia dalam misi internasional.

Gaya bicara Connolly yang blak-blakan dan pesan kuat tentang kesetaraan sosial telah menarik perhatian generasi muda. Dalam masa kampanye, ia aktif berinteraksi dengan masyarakat melalui media sosial dan beberapa kali viral karena aksi spontan, seperti bermain sepak bola dan basket bersama anak-anak di Dublin.

Meski popularitasnya meningkat pesat, Connolly juga menghadapi kritik terkait beberapa keputusan masa lalunya. Ia sempat diserang lawan politik karena pernah mewakili bank dalam kasus penyitaan aset dan mempekerjakan mantan narapidana kasus senjata api sebagai staf. Ia juga membela keputusannya berkunjung ke Suriah pada 2018 dalam misi kemanusiaan, meski pertemuan dengan pendukung rezim Bashar al-Assad sempat menimbulkan kontroversi.

Dalam pidato penutup kampanyenya, Connolly menegaskan bahwa dirinya akan menjadi presiden yang berbicara “bila diperlukan” dan berkomitmen menjaga inklusivitas Irlandia di tengah perubahan global.

“Kita dapat membangun republik baru yang menghargai semua orang, memperjuangkan keberagaman, dan percaya diri dengan identitas kita sendiri,” ujarnya.

Kemenangan Connolly menandai babak baru bagi Irlandia yang tengah mencari keseimbangan antara tradisi politik netral dan suara progresif yang semakin kuat di masyarakat. (*)

Tinggalkan Balasan