Tragedi Affan, Bangkitkan Memori September Berdarah di Sultra

KENDARINEWS.COM–Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat demonstrasi di Jakarta, Kamis (28/8/2025), menyisakan duka mendalam. Meskipun insiden itu terjadi jauh di ibu kota, getarannya terasa kuat sampai di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Peristiwa ini membuka kembali “luka lama” masyarakat Sultra, membangkitkan memori (mengingatkan) Tragedi September Berdarah 2019, saat dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, meregang nyawa akibat tembakan aparat saat aksi di Kantor DPRD Sultra.

Kedua tragedi ini sama-sama diduga melibatkan aparat kepolisian, meski dengan cara dan konteks berbeda.

Kesamaan nasib dan pelaku inilah yang menjadi salah satu pemicu gelombang protes di Kendari. Ratusan mahasiswa dari Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari menggelar aksi besar-besaran di depan Markas Polda Sultra, Jumat (29/8/2025) sore. Mereka menuntut keadilan dan pertanggungjawaban aparat.

“Kami minta Polisi yang terlibat (dalam kasus meninggalnya Affan Kurniawan) dihukum berat dan dipecat. Kami juga mendesak agar Kapolri dan Kapolda Metro Jaya mundur dari jabatan,” tegas Koordinator aksi, Muhammad Abdan, yang juga Presiden Mahasiswa IAIN Kendari.

Mahasiswa sempat mencoba masuk ke dalam Markas Polda, namun gerbang besi ditutup rapat. Situasi memanas hingga akhirnya gerbang berhasil dirubuhkan dan massa memblokade jalan utama di depan markas tersebut.

Tujuh Oknum Brimob Ditahan, Langgar Kode Etik

Terkait insiden maut yang menewaskan Affan, Divisi Propam Polri telah menahan tujuh oknum anggota Brimob yang terbukti melanggar kode etik profesi kepolisian.

Kepala Divisi Propam Polri, Irjen Abdul Karim menjelaskan, dari hasil pemeriksaan, terdapat tujuh personel di dalam rantis saat kejadian. Dua di antaranya berada di kursi depan: pengemudi Bripka R dan perwira pendamping Kompol C.

Sementara lima lainnya duduk di bagian belakang, masing-masing berinisial Aipda R, Briptu D, Bripda M, Bharaka J, dan Bharaka Y.

“Mereka sudah kami periksa intensif. Dari gelar perkara awal, mereka dinyatakan melanggar kode etik. Saat ini, ketujuhnya kami tempatkan dalam penempatan khusus (patsus) selama 20 hari. Mulai 29 Agustus hingga 17 September 2025,” ungkap Abdul Karim, dalam konferensi pers di Gedung Divpropam Mabes Polri, Jumat (29/8/2025).

Pemeriksaan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan lembaga eksternal seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai bentuk transparansi.

Dankor Brimob Polri, Komjen Imam Widodo, juga menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga almarhum Affan dan seluruh masyarakat Indonesia atas tragedi tersebut.

“Kami turut berduka dan meminta maaf. Untuk pemeriksaan, kami serahkan sepenuhnya kepada Divpropam,” ujar Imam.

Sementara itu, Komnas HAM dan Kompolnas memastikan bahwa proses investigasi akan berjalan secara transparan dan akuntabel.

Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, bahkan turut memantau langsung jalannya pemeriksaan kode etik.

Tinggalkan Balasan