Hilirisasi Cakalang Sultra: Menguatkan Nilai Tambah, Investasi, dan Ekonomi Maritim Berkelanjutan

Oleh : Amriana

KENDARINEWS.COM–Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah provinsi maritim dengan lebih dari 74 persen wilayah berupa laut. Kawasan ini dikenal sebagai “gudang emas biru” dengan komoditas unggulan cakalang (Katsuwonus pelamis), yang produksinya mencapai ribuan ton setiap tahun. Sayangnya, sebagian besar cakalang masih dijual dalam bentuk segar atau beku, sehingga nilai tambah lebih banyak beralih ke luar daerah. Padahal, jika diolah menjadi produk bernilai tinggi—fillet, abon, ikan asap, nugget, hingga kaleng siap saji—cakalang dapat mendongkrak daya saing global sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Peta Potensi Investasi Sultra 2024 menunjukkan sektor perikanan layak secara finansial dengan investasi awal Rp421 miliar, NPV Rp164,76 miliar, IRR 12,52%, BCR >1,35, dan BEP empat tahun. Data ini menjadi landasan kuat untuk mendorong hilirisasi cakalang secara spesifik.
Potensi dan Urgensi Hilirisasi

Produksi cakalang Sultra fluktuatif: sempat turun menjadi 3.011 ton pada 2021, lalu melonjak ke 6.895 ton pada 2022, dengan rata-rata 5.342 ton per tahun. Pola panen raya dan paceklik menekan harga di tingkat nelayan. Pada 2019–2021, meski harga rata-rata naik, fluktuasi bulanan tajam menciptakan ketidakpastian bagi nelayan maupun investor.

Disparitas harga domestik dan ekspor sangat mencolok: Rp31.000–38.000/kg di pasar lokal, sementara ekspor mencapai Rp150.000–187.000/kg. Perbedaan hampir lima kali lipat ini bukti nyata potensi nilai tambah yang hilang bila cakalang hanya dijual mentah. Hilirisasi melalui diversifikasi produk olahan bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak agar Sultra menjadi pionir hilirisasi maritim.

Secara makroekonomi, BPS (2025) mencatat sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 23,48% PDRB Sultra, menegaskan ketergantungan ekonomi daerah pada sumber daya laut. Indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN) 115,90 pada Desember 2024 juga menunjukkan kenaikan harga ikan langsung berpengaruh positif terhadap kesejahteraan. Dengan 133 ribu nelayan, dampak hilirisasi diproyeksikan luas bagi ekonomi rumah tangga maupun daerah.
Tantangan Aktual

Potensi besar ini dihadang beberapa hambatan. Pertama, keterbatasan infrastruktur, terutama cold storage, kapal pendingin, dan pabrik es, yang menurunkan mutu produk. Kedua, ancaman illegal fishing dan lemahnya keamanan laut mengurangi stok ikan dan mengganggu rantai pasok. Ketiga, keterbatasan SDM dan teknologi membuat nelayan dan pekerja pengolahan sulit memenuhi standar mutu ekspor. Keempat, persaingan global menuntut sertifikasi eco-label, halal, dan traceability agar produk diterima pasar internasional. Tanpa solusi terhadap hambatan ini, hilirisasi cakalang akan sulit berkelanjutan.

Strategi Hilirisasi
Beberapa langkah konkret dapat ditempuh. Pertama, industrial upgrading dengan modernisasi fasilitas pengolahan sehingga produk cakalang memenuhi standar ekspor premium. Kedua, membangun kemitraan nelayan–industri atau koperasi berbasis kontrak pasok untuk menjaga kontinuitas bahan baku dan harga stabil. Ketiga, memperkuat rantai dingin untuk menjamin kualitas produk hingga pasar ekspor. Keempat, branding dan sertifikasi agar cakalang Sultra memiliki daya tawar tinggi di pasar global. Strategi-strategi ini membentuk rantai nilai terintegrasi yang menghubungkan nelayan, industri, teknologi, dan pasar, sehingga setiap tahap memberikan keuntungan bagi masyarakat dan daerah.
Kelayakan Finansial dan IPRO

Secara finansial, hilirisasi cakalang terbukti lebih menguntungkan dibanding perikanan umum. Dengan investasi Rp421 miliar, produksi tahunan 5.342 ton, harga domestik Rp34.500/kg dan ekspor Rp168.500/kg, simulasi menghasilkan NPV Rp886,5 miliar, IRR 107%, BCR 3,28, dan BEP hanya 1,16 tahun. Tingginya margin ekspor dan diversifikasi produk olahan menjadikan proyek ini sangat bankable.

Namun, kelayakan finansial saja tidak cukup. Investor juga membutuhkan kepastian tata ruang, kesiapan lahan, dukungan masyarakat, serta aspek teknis dan legal. Karena itu, penyusunan Investment Project Ready to Offer (IPRO) menjadi langkah penting agar hilirisasi cakalang dapat ditawarkan sebagai proyek investasi yang clean and clear.
Dampak yang Diharapkan

Hilirisasi cakalang akan menciptakan dampak multidimensi. Dari sisi ekonomi, membuka akses pasar ekspor, meningkatkan nilai tambah, dan menumbuhkan ekonomi lokal. Dari sisi sosial, menciptakan lapangan kerja, memperkuat kapasitas SDM, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dari sisi lingkungan, mengurangi limbah pasca panen dan mendorong praktik perikanan berkelanjutan melalui sertifikasi mutu. Dari sisi geopolitik, memperkuat posisi Sultra di jalur perdagangan laut strategis serta meningkatkan ketahanan ekonomi maritim.

Kesimpulan
Penyediaan IPRO dapat menjadi langkah awal bagi pemerintah daerah dalam mewujudkan hilirisasi cakalang di Sulawesi Tenggara. Analisis finansial menunjukkan proyek ini sangat layak dan menguntungkan, namun harus ditopang dengan infrastruktur, kemitraan, branding, dan dukungan kebijakan. Dengan pendekatan terpadu, hilirisasi cakalang bukan hanya soal meningkatkan nilai jual, melainkan transformasi struktural yang memperluas pasar, memperkuat kesejahteraan nelayan, dan menegaskan peran Sultra dalam percaturan ekonomi maritim nasional.
Pada akhirnya, kebijakan ini diarahkan untuk memperkuat ekonomi maritim Sulawesi Tenggara melalui inovasi, ketahanan, dan keberlanjutan menuju daya saing global.

Tinggalkan Balasan