Oleh: Amriana, S.E., M.M. (Perencana DPMPTSP Prov. Sultra)
KENDARINEWS.COM–Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia terus mendorong hilirisasi sumber daya alam sebagai strategi utama memperkuat pondasi ekonomi nasional. Hilirisasi dipercaya mampu menciptakan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, serta mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Sayangnya, wacana hilirisasi masih terlalu identik dengan sektor tambang—nikel, batu bara, dan logam tanah jarang. Seolah nilai tambah hanya bisa digali dari kedalaman bumi, sementara laut yang membentang luas justru terabaikan.
Padahal Indonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan maritim yang luar biasa. Potensi laut dan sektor perikanan bukan hanya melimpah, tetapi juga langsung menyentuh hajat hidup masyarakat pesisir. Sulawesi Tenggara menjadi contoh konkret: provinsi dengan garis pantai yang panjang dan jumlah nelayan mencapai ratusan ribu jiwa, tetapi belum sepenuhnya menikmati kekayaan lautnya.
Ketimpangan dalam Hilirisasi
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara mencatat, tahun 2023 nelayan di wilayah ini berjumlah 133.518 jiwa. Artinya, sektor ini bukan hanya kaya secara sumber daya, tetapi juga vital secara sosial.
Di lapangan, ketimpangan serius dalam rantai nilai masih terjadi. Dalam acara Sosialisasi Indeks Daya Saing Daerah, Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Hugua, mengungkap keluhan yang menyentuh: hasil tangkapan nelayan di Kota Baubau membusuk setiap hari karena mesin pembeku rusak selama tiga tahun dan tak kunjung diperbaiki. Ketika pasca-panen lumpuh, bagaimana nelayan bisa naik kelas?
Lebih jauh, Hugua menyatakan bahwa sejumlah perusahaan perikanan di Sultra terpaksa mengalirkan hasil tangkapan ke Makassar dan Surabaya untuk diekspor. Bukan karena kualitas, melainkan karena tidak tersedianya fasilitas penyimpanan dan ekspor yang memadai. Ini jelas meningkatkan biaya logistik, memangkas margin keuntungan, dan memperlemah daya saing produk lokal. Pengusaha perikanan juga mengeluhkan ketidakhadiran pemerintah dalam proses ekspor yang mereka lakukan.
Kontras menyayat lainnya terjadi sepanjang tahun 2024, sebanyak 216 nelayan Indonesia ditangkap otoritas Australia karena memasuki wilayah perairan tanpa izin. Dari jumlah itu, hampir setengah—103 orang—berasal dari Sulawesi Tenggara. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi cerminan keterbatasan pilihan ekonomi dan ruang hidup yang layak bagi masyarakat pesisir.
Hilirisasi Laut: Prioritas yang Tertukar
Wilayah laut Indonesia mencakup lebih dari 62 persen dari total wilayah nasional—jauh melampaui daratannya. Di Sulawesi Tenggara, dari total luas 148.140 km², daratan hanya 25,75 persen (38.140 km²), sedangkan lautan mencapai 74,25 persen (110.000 km²). Ini bukan sekadar statistik geografis, melainkan cermin identitas. Kita adalah bangsa bahari.
Sulawesi Tenggara kini tengah menyusun arah pembangunan jangka menengah. Dalam Rancangan Akhir RPJMD 2025–2029 (dalam perbaikan pasca evaluasi Ditjen Bina Bangda Kemendagri), konsep hilirisasi mulai dipetakan melalui pengembangan kawasan minapolitan dan penguatan pusat kegiatan ekonomi berbasis laut.
Beberapa kawasan prioritas antara lain: Pulau Buton dan Muna sebagai sentra perikanan tangkap dan budidaya; Buton Tengah dan Muna sebagai kawasan pengolahan hasil perikanan; Baubau sebagai bagian dari Pelabuhan Perikanan Nusantara; Kendari sebagai pusat pengolahan hasil laut yang terintegrasi dengan Pelabuhan Perikanan Samudera; serta Konawe dan Konawe Kepulauan sebagai kawasan industri perikanan dan wisata bahari.
Arah kebijakan ini berpijak pada visi besar RPJPD Sulawesi Tenggara 2025–2045, yakni “Sulawesi Tenggara yang Berdaya Saing, Maju, dan Berkelanjutan.” Salah satu target ambisiusnya adalah meningkatkan pendapatan per kapita dari Rp64 juta pada 2023 menjadi Rp300–361 juta pada 2045. Untuk mencapainya, ekonomi biru harus diposisikan sebagai prioritas utama.
Komitmen terhadap arah ini telah dituangkan dalam Rencana Induk dan Peta Jalan Ekonomi Biru Sulawesi Tenggara 2025–2045. Dokumen ini menunjukkan bahwa ekonomi biru bukan sekadar sektor, melainkan kerangka pembangunan jangka panjang yang inklusif.
Menimbang dampak ekologis dan kepadatan modalnya, semestinya hilirisasi laut yang didahulukan, bukan sebaliknya. Jika hilirisasi tambang membutuhkan teknologi tinggi dan smelter bernilai miliaran dolar, hilirisasi laut justru jauh lebih sederhana. Ia cukup ditopang oleh pelabuhan perikanan yang layak, mesin pembeku yang menyala, sistem rantai dingin yang efisien, serta pelatihan kewirausahaan bagi pelaku UMKM perikanan.
Namun, tantangan terbesarnya terletak pada eksekusi. Apa artinya peta jalan ekonomi biru jika nelayan tetap menjual ikan dengan harga murah karena tidak tersedia cold storage? Apa maknanya target Indeks Ekonomi Biru Indonesia (IBEI) sebesar 88,57 di tahun 2045, jika saat ini nilainya masih 60,57 dan nelayan masih berutang untuk membeli solar?
Apakah kita rela melihat nelayan terus hidup pas-pasan, hanya karena pembangunan lebih sibuk menambang dari tanah ketimbang mengolah hasil laut? Apakah kita akan membiarkan ikan-ikan terbaik Sultra dikirim ke luar daerah tanpa nilai tambah, sementara masyarakat pesisir tetap termarjinalkan?
Lebih penting lagi, hilirisasi biru berarti memperkuat kelembagaan usaha kecil, koperasi nelayan, dan menciptakan akses pasar yang adil. Hilirisasi bukan hanya mencetak produk bernilai tinggi, tetapi juga menegakkan keadilan dan pemberdayaan.
Lima Langkah Mendesak agar hilirisasi kelautan dan perikanan benar-benar berjalan, berikut lima langkah mendesak yang perlu menjadi fokus utama pemerintah daerah:
- Rehabilitasi Infrastruktur Pasca-Panen
Mesin pembeku, pelabuhan perikanan, dan cold storage harus segera diperbaiki. Infrastruktur pasca-panen yang memadai akan mendongkrak kualitas dan daya saing produk perikanan. - Bangun Ekosistem Logistik Terpadu
Rantai pasok yang efisien dari hulu ke hilir sangat krusial. Logistik yang terintegrasi akan memangkas biaya dan mempercepat distribusi, terutama bagi pelaku usaha kecil. - Perkuat UMKM dan Koperasi Perikanan
UMKM dan koperasi nelayan harus dijadikan tulang punggung hilirisasi. Akses pembiayaan, pelatihan, digitalisasi, hingga fasilitasi ekspor menjadi krusial untuk mereka bisa naik kelas. - Modernisasi Alat Tangkap Ramah Lingkungan
Pemerintah perlu menyediakan alat tangkap yang efisien, aman, dan memenuhi standar pasar ekspor—agar produktivitas meningkat tanpa merusak ekosistem laut. - Kehadiran Negara yang Nyata
Semua langkah ini hanya mungkin jika negara benar-benar hadir. Tak cukup berhenti pada visi dan dokumen; dibutuhkan keberpihakan anggaran, intervensi strategis, dan eksekusi nyata.
Menyusun Nilai, Membangun Martabat
Hilirisasi bukan semata soal meningkatkan nilai jual komoditas. Ia adalah cara membangun martabat masyarakat pesisir, menciptakan keadilan dalam pembangunan, dan menjamin keberlanjutan sumber daya.
Dari Sulawesi Tenggara, suara ini disuarakan: Hilirisasi laut jangan hanya wacana dalam dokumen perencanaan. Wujudkanlah, karena masa depan Indonesia bukan hanya terletak di bawah tanah, tetapi terbentang luas di atas permukaan laut.
Jangan biarkan laut hanya menjadi penonton di negerinya sendiri. Bangsa bahari harus ingat rumahnya. Dan rumah itu adalah laut.








































