KENDARINEWS.COM— Beberapa hari belakangan, fenomena astronomi tahunan yang dikenal dengan nama Aphelion kembali menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial (medsos). Bahkan, kabar yang beredar di berbagai platform digital menyebutkan bahwa fenomena ini menyebabkan suhu bumi tiba-tiba lebih dingin, bahkan menimbulkan gejala seperti flu, batuk, hingga sesak nafas pada banyak orang.
Fenomena Aphelion adalah momen saat Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari dalam orbitnya. Tahun ini, Aphelion diprediksi terjadi pada 4 Juli 2025, pukul 02.54 WIB, dan akan berlangsung hingga Agustus mendatang.
Pada titik tersebut, jarak Bumi ke Matahari akan mencapai sekitar 152 juta kilometer, atau sekitar 66% lebih jauh dari jarak rata-rata Bumi-Matahari yang biasanya sekitar 149,6 juta kilometer. Untuk lebih memahami jarak ini, bisa dibayangkan bahwa 5 menit cahaya diperlukan bagi sinar Matahari untuk menempuh jarak tersebut, yang setara dengan sekitar 90 juta kilometer.
Namun, kabar yang beredar melalui pesan berantai dan beberapa postingan media sosial menyebutkan bahwa fenomena ini menyebabkan suhu Bumi menjadi lebih dingin dari biasanya, bahkan melebihi suhu dingin yang biasanya terjadi pada musim kemarau. Dampaknya, sejumlah masyarakat mengeluhkan gejala seperti meriang, flu, batuk, hingga sesak nafas.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui situs resminya memberikan penjelasan yang sangat penting. BMKG menegaskan bahwa fenomena Aphelion tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi cuaca di Indonesia.
“Fenomena Aphelion adalah kejadian astronomis tahunan yang terjadi pada kisaran bulan Juli, namun dampaknya terhadap suhu udara di Bumi, khususnya di Indonesia, sangat kecil,” ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Dr. Muhammad Zainul Syarif.
Ia menjelaskan bahwa penurunan suhu yang terjadi selama musim kemarau disebabkan oleh kondisi atmosfer yang lebih kering dan kelembapan yang rendah. Pada saat puncak kemarau, uap air di udara berkurang, dan permukaan Bumi menjadi lebih kering, yang menyebabkan lebih banyak panas matahari terbuang ke angkasa.
Inilah yang menjelaskan mengapa suhu udara pada musim kemarau sering terasa lebih dingin dibandingkan dengan suhu udara pada musim hujan.
Meskipun saat fenomena Aphelion, jarak Bumi ke Matahari lebih jauh, hal ini tidak memengaruhi atmosfer secara langsung. BMKG memastikan bahwa faktor-faktor musiman seperti peralihan antara musim hujan dan musim kemarau lebih berperan dalam memengaruhi suhu udara.
BMKG juga mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh informasi yang tidak akurat yang beredar di media sosial.
“Kondisi cuaca dingin yang saat ini terjadi adalah bagian dari dinamika atmosfer musiman yang wajar. Masyarakat sebaiknya tidak terpengaruh oleh isu yang mengatakan bahwa fenomena Aphelion memiliki dampak ekstrem terhadap penurunan suhu,” tambahnya.
Lebih lanjut, BMKG mengingatkan agar masyarakat tetap menjaga kesehatan, terutama selama musim kemarau yang biasanya menyebabkan udara kering dan meningkatkan potensi penyebaran virus flu atau penyakit pernapasan lainnya. Dengan begitu, gejala flu atau sesak nafas yang dialami beberapa orang tidak ada kaitannya dengan fenomena Aphelion, melainkan merupakan gejala umum yang terjadi pada saat kondisi cuaca berubah atau saat sistem imun tubuh sedang menurun.
Perbedaan Aphelion dan Perihelion
Untuk memberikan sedikit pemahaman lebih lanjut mengenai fenomena Aphelion, BMKG menjelaskan perbedaan antara Aphelion dan Perihelion. Aphelion adalah titik dalam orbit Bumi yang paling jauh dari Matahari, sedangkan Perihelion adalah titik terdekat Bumi dengan Matahari, yang terjadi sekitar bulan Januari setiap tahunnya. Meskipun kedua fenomena ini memengaruhi jarak Bumi dengan Matahari, pengaruhnya terhadap suhu di Bumi sangat minim, dan tidak seharusnya dianggap sebagai faktor utama dalam perubahan cuaca ekstrem.








































