Pilu Fani Alfiani Anak Penjual Balon yang Mengubur Mimpi untuk Kuliah, Bebas Tes Namun Telat Lunasi UKT

KENDARINEWS.COM—Senyum Fani Alfiani (19), siswi tamatan SMKN 1 Kendari jurusan Administrasi Perkantoran, nampak begitu sendu, Jumat (19/7).

Calon mahasiswa baru (maba) Universitas Halu Oleo (UHO) itu, terpaksa mengubur mimpi besarnya untuk kuliah. Kendati lulus sebagai calon maba lewat jalur bebas tes, asa Fani Alfiani harus kandas lantaran terlambat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UHO.

Fani Alfiani mungkin tak seberuntung seperti kebanyakan siswa lain yang lolos masuk UHO lewat jalur bebas tes. Fani kini hanya bisa tertunduk meratapi nasib sebagai anak dari keluarga kurang mampu. Asanya untuk berkuliah, kemungkinan harus ia pendam rapat-rapat. Kegigihannya belajar dan berprestasi saat masih dimasa “putih abu-abu”, tak bisa ia lanjutkan hingga ke bangku perguruan tinggi. Ia kini lebih banyak berdiam diri di kontrakan yang disewa ayahnya. Sesekali, Fani pun membantu merapikan balon dagangan orangtuanya, hingga membantu ibunya menyapu atau memasak.

Fani Alfiani sebelumnya telah mengikuti ujian masuk di UHO. Alhasil, ia dinyatakan lulus bebas tes dan terdaftar sebagai calon maba pada program studi (Prodi) Perpustakaan dan Ilmu Informasi FISIP UHO. Namun, hasil itu tidak serta membuatnya melenggang mulus menjadi mahasiswa karena telat sebulan melunasi UKT.

“Kemarin itu batasnya 21 Juni 2024 untuk kita daftar ulang yang bebas tes di UHO. Tapi karena keadaan yang pas-pasan, Bapakku saat itu belum sanggup membayar UKT. Padahal saya sangat senang diterima di UHO. Saya ingin lanjut belajar dan kuliah,” lirih Fani Alfiani.

Fani Alfiani merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Orangtuanya, Ponidi (54) dan Rumini (50) berprofesi sebagai penjual balon yang kerap mangkal di bilangan Eks MTQ Kendari. Untuk tempat bernaung, Fani dan keluarga menyewa rumah kontrakan berdinding papan di jalan Saranani. Tepatnya, di lorong Rappang, kelurahan Korumba, kecamatan Mandonga.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, orangtua Fani hanya mengharap dari hasil penjualan balon yang tak seberapa. Begitupun untuk membayar sewa kontrakan berukuran 4×5 meter seharga Rp 350 ribu perbulan. Penjualan balon menjadi satu-satunya harapan untuk melangsungkan kehidupan bagi keluarga Fani Alfiani.

Fani Alfiani mengisahkan, ketika mengisi formulir bebas tes beberapa waktu lalu, Fani diminta mencantumkan pendapatan orangtuanya. Ia lantas mencantumkan gaji orangtuanya sebesar Rp 500 ribu perbulan.

Selanjutnya, saat proses pendaftaran ulang calon maba UHO jalur bebas tes, Fani Alfiani diwajibkan membayar Rp 3,2 juta dari pihak kampus UHO. Rinciannya, Rp 3 juta untuk UKT, dan Rp 200 ribu untuk biaya pemeriksaan kesehatan calon maba. Kendati terbilang rendah bagi sebagian orang, nominal tersebut rupanya cukup berat bagi Fani Alfiani dan keluarga.

“Kadang untuk makan saja, tunggu dulu balonnya laku atau tidak. Kasihan Bapakku kemarin, sampai kebingungan tidak tidur cari uang untuk saya mendaftar ulang di UHO. Tapi mau diapa. Padahal kalau dibilang saya ingin sekolah lagi, ingin kuliah,” imbuh Fani Alfiani.

Ayah dari Fani Alfiani, Ponidi (54) mengutarakan, putrinya merupakan anak yang rajin belajar dan selalu berprestasi di sekolah. Ponidi selama ini tak membolehkan sang putri membantunya mengais rezeki di jalan dengan cara berjualan balon. Ia ingin anaknya hanya fokus belajar saat dirumah maupun di sekolah.

“Urusan mencari uang itu biar saya saja. Insyaallah saya masih bisa mencari untuk kehidupan anak dan istri. Meskipun hanya jual balon, yang penting halal dan berkah untuk keluarga,” ucap Ponidi.

Ia bercerita, profesi berjualan balon dilakoninya sejak awal tahun 2000-an. Sebelum berjualan balon, sejumlah “pekerjaan kasar” sudah dijalaninya untuk berjuang melawan getirnya hidup . Mulai dari memulung barang rongsokan atau plastik bekas, hingga menjadi tukang cuci wc panggilan dari rumah ke rumah.

“Prinsip saya, selagi halal, pekerjaan apapun akan saya lakukan untuk menyambung hidup keluarga. Yang saya tidak mau lakukan itu hanya satu, jadi peminta-minta,” ujarnya.

Kata Ponidi, satu balon dijualnya berkisar Rp 15-20 ribu rupiah. Dari setiap balon yang laku itu, untung yang didapatkan paling tinggi hanyalah Rp 5 ribu rupiah. Ia menyebut, pemasukan dari berjualan balon, hasilnya tidak menentu. Kalau sedang laris, untungnya lumayan. Namun jika sepi pembeli, Ponidi tak jarang harus pulang ke kontrakannya dengan tangan kosong.

“Kalau ada acara wisuda sekolah atau kampus, itu Alhamdulillah banyak yang beli. Makanya saya senang kalau dengar mau ada acara wisuda. Jadi bisa kita sisipkan sebagian untuk ditabung. Tapi kadang juga sepi tidak ada yang laku. Apalagi sekarang penjual balon di Kendari bukan saya saja,” ungkapnya.

Ponidi pun mengaku sedih lantaran cita-cita sang anak untuk kuliah terbentur keadaan. Padahal, secercah harapan agar anaknya dapat mengeyam bangku perkuliahan, nyaris saja terwujud lewat jalur bebas tes UHO. Sayangnya, kondisi yang serba keterbatasan membuat Ponidi kebingungan melunasi biaya pendaftaran ulang putri bungsunya, Fani Alfiani.

“Saya merasa kepikiran terus dan sedih. Anak ingin sekali belajar melanjutkan kuliahnya. Tapi saya belum memiliki uang untuk membayar UKT sebesar itu. Sekarang ada yang mau bantu juga, tapi katanya sudah tutup pendaftaran ulang jalur bebas tes. Semoga ada jalan keluarnya seperti apa. Namanya orangtua, terus usaha sambil doa biar jadi yang terbaik,” haru Ponidi. (adi/ani/kn)