“Sesungguhnya partai paham betul bahwa siapa kader mereka yang punya kapasitas, integritas, serta yang memahami ideologi dan konsep bernegara,” ungkap Fahri.
Terlebih, Indonesia pernah menggunakan dua sistem pemilu itu, yaitu pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu tahun 1999, dengan menggunakan daftar tertutup. Sedangkan pasca-Perubahan UUD 1945, pilihan dengan menggunakan daftar terbuka, dan di praktekan pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.
“Bahkan secara khusus untuk Pemilu 1955 melalui sistem tertutup menghasilkan anggota parlemen yang berkualitas tinggi serta negarawan, hal tersebut dapat dicermati dengan pembahasan serta perdebatan akademik dan politik dalam sidang-sidang konstituante dalam pembahasan UUD definitif, yang mana perdebatan berlangsung secara cerdas dan substansial sesuai kapasitas anggota Parlemen,” ujar Fahri.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI) ini berpendapat,sesungguhnya tidak ada model sistem pemilu yang ideal di dunia ini, yang ada hanyalah sebuah sistem pemilu yang tepat, dan yang paling cocok di satu negara tertentu dengan corak politik, kultur-budaya serta keadaan demografi setempat, yang tentunya tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainya.
“Sesungguhnya tidak ada satu pun sistem pemilu yang mampu memenuhi semua kebutuhan politik nasional atau semua kepentingan kelompok Interest Group politik tertentu, yang dapat dirancang adalah mengkonstruksikan manageable, sebuah sistem pemilu yang tepat sesuai dengan kebutuhan kondisi, baik secara historis, sosiologis, dan politis daripada suatu masyarakat beradab,” pungkas Fahri. (jpg)








































