Penerimaan Negara di Era Digital: Tantangan dan Strategi Inovatif

Oleh : Amriana
KENDARINEWS.COM–Dalam satu dekade terakhir, penerimaan negara menghadapi tantangan kompleks. Ketergantungan pada pajak penghasilan, PPN, dan sumber daya alam belum cukup memenuhi kebutuhan belanja negara, sementara globalisasi dan teknologi digital menciptakan model bisnis lintas batas dengan transaksi yang berlangsung setiap detik.

Ekonomi digital tumbuh pesat, membuka peluang penerimaan baru namun juga menimbulkan kebocoran pajak. Dengan lebih dari 220 juta pengguna internet (APJII, 2024), Indonesia memiliki basis digital kuat untuk aktivitas daring, dari belanja online hingga layanan keuangan digital dan konten kreatif. Nilai transaksi e-commerce nasional 2024 mencapai Rp487,01 triliun (Kontan, 2025, mengutip Bank Indonesia), menandai masifnya perputaran ekonomi digital. Pertanyaan pentingnya: sudahkah penerimaan negara mengoptimalkan peluang ini? Era digital seharusnya menjadi momentum strategis untuk memperluas basis pajak, memanfaatkan teknologi, dan membangun sistem perpajakan inklusif, dengan inovasi dan adaptasi sebagai kunci.

Meski potensinya besar, optimalisasi penerimaan dari ekonomi digital menghadapi tantangan utama: transaksi lintas batas yang mempersulit pemetaan lokasi dan hak pajak; jutaan transaksi mikro yang luput dari pengawasan karena sistem pelaporan manual; regulasi yang belum adaptif, termasuk PPN untuk produk digital luar negeri dan aset baru seperti cryptocurrency; serta keterbatasan integrasi data antar kementerian, lembaga, dan otoritas internasional, yang masih menghadapi kendala teknis dan koordinatif.

Tantangan-tantangan tersebut menunjukkan bahwa tanpa inovasi, potensi penerimaan negara dari ekonomi digital bisa hilang begitu saja, sementara beban fiskal negara terus meningkat.

Peluang dan Strategi Inovatif
a. Peluang Digitalisasi Penerimaan
Digitalisasi justru membuka jalan bagi pemerintah untuk menata ulang sistem perpajakan. Beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan antara lain:

  1. Pajak transaksi e-commerce: E-commerce di Indonesia memiliki potensi pajak signifikan. Optimalisasi bisa dilakukan lewat PPN, integrasi data transaksi marketplace dengan sistem perpajakan, pencatatan penjual lebih akurat, dan pengawasan rantai pasok digital. Dengan pengelolaan tepat, sektor ini memperkuat basis penerimaan sekaligus mendukung iklim usaha UMKM dan konsumen.
  2. Pajak fintech dan aset kripto: Ekosistem keuangan digital, termasuk dompet digital, peer-to-peer lending, dan perdagangan aset kripto, kini menjangkau masyarakat luas dan UMKM. Penerapan PPh dan PPN sejak 2022 menjadi langkah awal, namun regulasi adaptif tetap dibutuhkan agar penerimaan tidak tertinggal. Dengan tata kelola baik, fintech dan kripto bisa menjadi sumber penerimaan baru sekaligus meningkatkan inklusi keuangan nasional.
  3. Big data dan artificial intelligence (AI). Teknologi ini dapat membantu otoritas pajak mengidentifikasi potensi wajib pajak, mendeteksi anomali transaksi, serta memprediksi tren penerimaan secara real-time.
    b. Strategi Inovatif
    Untuk memaksimalkan peluang tersebut, beberapa strategi kunci perlu dijalankan:
  4. Integrasi data lintas lembaga. Kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pajak, OJK, Bank Indonesia, dan kementerian lain menjadi syarat utama. Dengan integrasi data, otoritas pajak dapat melihat gambaran utuh perilaku ekonomi masyarakat.
  5. Automasi monitoring transaksi digital. Sistem pelaporan manual sudah tidak relevan. Diperlukan sistem digital yang otomatis memotong pajak dari transaksi di platform online, seperti yang sudah dilakukan dalam pemungutan PPN atas layanan digital luar negeri.
  6. Edukasi dan insentif kepatuhan. Pemerintah harus membangun ekosistem perpajakan yang ramah bagi pelaku ekonomi digital, terutama UMKM. Edukasi tentang kewajiban pajak, disertai insentif kepatuhan, akan menciptakan kesadaran kolektif.
  7. Kerja sama internasional.
    Karena ekonomi digital bersifat lintas negara, Indonesia perlu aktif di forum global seperti OECD untuk memastikan keadilan pajak, khususnya bagi perusahaan teknologi multinasional. OECD bersama G20 merumuskan Two-Pillar Solution: Pilar pertama memberi hak pemajakan bagi negara pasar seperti Indonesia tanpa kehadiran fisik perusahaan; Pilar kedua menetapkan pajak minimum global 15% untuk mencegah pengalihan laba ke negara pajak rendah. Keterlibatan aktif Indonesia penting agar potensi penerimaan digital yang besar tidak bocor ke luar negeri.
    c. Studi Kasus / Praktik Baik
    Beberapa negara telah mengambil langkah maju: India menerapkan Equalisation Levy untuk memajaki iklan digital luar negeri, dan Uni Eropa tengah menyusun Digital Services Tax. Indonesia bisa belajar dari praktik ini sekaligus menyesuaikannya dengan kondisi domestik. Selain itu, pilot project integrasi data antara Direktorat Jenderal Pajak dan perbankan nasional mulai membuahkan hasil, dengan akses data keuangan wajib pajak yang membantu mempersempit ruang penghindaran pajak.
    Rekomendasi
    Era digital membawa tantangan sekaligus peluang besar bagi penerimaan negara. Jika dikelola inovatif, digitalisasi dapat memperluas basis pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan, dan memastikan keberlanjutan fiskal. Tanpa kebijakan adaptif, potensi penerimaan besar bisa hilang.
    Tiga rekomendasi utama: 1) percepatan regulasi adaptif untuk pajak e-commerce, fintech, dan aset kripto; 2) penguatan infrastruktur data dan teknologi untuk integrasi, automasi, dan analitik; 3) kolaborasi internasional dalam pemajakan ekonomi digital global.
    Digitalisasi sebaiknya menjadi kendaraan untuk sistem perpajakan modern, transparan, dan inklusif. Inovasi bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan agar penerimaan negara di era digital menopang pembangunan nasional secara berkelanjutan.