KENDARINEWS.COM — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) dapat berjalan pada tahun depan. Proyek strategis ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor liquefied petroleum gas (LPG).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, saat ini terdapat sejumlah negara yang berminat terlibat dalam pengembangan proyek DME di Indonesia. Negara-negara tersebut antara lain China, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa.
“Sekarang kita lagi uji feasibility study-nya dengan teknologinya. Tetapi ancang-ancangnya sudah ada dua. Satu dari China, satu gabungan antara Korea dan Eropa. Nanti kita lihat, finalnya nanti kita lihat ya,” ujar Bahlil di sela acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, dikutip Rabu (5/11/2025).
Bahlil memastikan proyek hilirisasi batu bara pengganti LPG tetap berjalan sesuai rencana. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan DME berkat ketersediaan cadangan batu bara nasional yang melimpah.
“Nggak ada masalah. Karena DME itu kan pakai batu bara lokal. Dan cadangan kita banyak sebenarnya. Teknologinya sekarang juga sudah jauh lebih efisien,” imbuhnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menyampaikan bahwa Menteri ESDM selaku Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi tengah meninjau ulang prospek proyek DME dengan mempertimbangkan beberapa proposal baru dari calon investor.
“Pak Menteri kemarin sebagai Ketua Satgas Hilirisasi, mencoba untuk prospek DME ini dengan beberapa proposal yang ada. Ada satu atau dua yang menunjukkan IRR-nya positif, cukup lumayan, cukup kompetitif,” kata Tri dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia Special Road to Hari Tambang dan Energi 2025, dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (22/10/2025).
Tri menjelaskan bahwa kerja sama antara PT Bukit Asam (PTBA) dan Air Products sebelumnya telah sampai pada tahap penjajakan. Dalam rencana awal, PTBA akan menyediakan batu bara, Air Products bertanggung jawab atas proses pengolahan menjadi DME, sementara Pertamina menjadi pembeli produk. Namun, proyek tersebut terkendala perbedaan penetapan harga yang membuat sisi pertambangan menjadi tidak ekonomis.
Meski begitu, Tri optimistis proyek DME dapat dilanjutkan setelah dilakukan studi kelayakan yang lebih mendalam.
“Kemudian barulah kita tahu bahwa proyek itu feasible. Jalannya apakah masih panjang atau tidak, tergantung nanti seperti apa kecepatannya,” ujarnya.
Dengan adanya investor baru dan inovasi teknologi yang lebih efisien, pemerintah berharap proyek DME dapat segera terealisasi untuk memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mengurangi impor LPG. (*)
