Hati-Hati! Pola Asuh yang Tampak Normal Bisa Tinggalkan Luka Psikologis Mendalam

KENDARINEWS.COM — Trauma tidak selalu muncul dari pengalaman kekerasan fisik seperti pemukulan atau pelecehan seksual. Menurut laporan yang dikutip dari Fajar.co.id, luka batin juga bisa tumbuh di tengah keluarga yang tampak harmonis dan baik-baik saja.

Para ahli menjelaskan bahwa trauma emosional dapat muncul ketika kebutuhan dasar psikologis anak tidak terpenuhi oleh orang tua terutama jika orang tua tersebut belum matang secara emosional.

Dalam keluarga seperti ini, anak-anak sering kali tidak mendapatkan dua hal paling mendasar dalam tumbuh kembang mereka: rasa aman dan cinta yang tulus.

Beberapa bentuk perilaku yang dapat memicu trauma emosional di masa kecil antara lain:

Anak yang hidup bersama orang tua yang immature (tidak matang secara emosional) sering kali menghadapi situasi di mana perasaan mereka diabaikan, ditertawakan, atau bahkan disalahkan.

1• Orang tua mengabaikan ekspresi emosi anak karena sibuk atau tidak peduli.

• Orang tua menyangkal atau merendahkan perasaan anak, seperti mengatakan “Ah, kamu lebay,” atau “Sudah besar kok masih nangis.”

• Orang tua membebankan tanggung jawab emosinya kepada anak, misalnya dengan berkata, “Jadi anak yang baik biar Mama nggak marah.”

Perilaku seperti ini membuat anak merasa tidak aman secara emosional dan menanamkan luka batin yang bisa bertahan hingga dewasa.

Menurut psikolog, orang tua yang belum matang secara emosional biasanya menunjukkan beberapa ciri berikut:

• Takut menghadapi emosi sendiri maupun emosi anak.

• Sulit melakukan refleksi diri dan enggan mengakui kesalahan.

• Bersikap tidak konsisten, mudah berubah suasana hati, dan tidak dapat diandalkan secara emosional.

• Fokus pada kebutuhan atau agenda pribadi tanpa memahami kebutuhan emosional anak.

Ketidakdewasaan emosional ini membuat anak tumbuh dengan rasa tidak aman, sulit percaya pada orang lain, serta kerap mengulang pola luka yang sama di hubungan mereka saat dewasa.

Trauma masa kecil yang tidak disadari dapat berdampak besar pada pola asuh di masa depan. Anak yang tumbuh dari orang tua tidak matang secara emosional berisiko meniru pola yang sama saat menjadi orang tua.

Beberapa dampak yang kerap muncul antara lain:

• Gaya parenting inkonsisten, mudah marah atau terlalu permisif.

• Hubungan emosional tidak sehat (kodependen) dengan anak.

• Kompensasi berlebihan, seperti memberi hadiah untuk menebus rasa bersalah.

• Parentifikasi, yaitu anak yang justru harus mengasuh atau menenangkan orang tuanya.

Siklus ini, jika tidak disadari dan diatasi, dapat menciptakan “trauma lintas generasi”—di mana luka batin diwariskan dari orang tua ke anak, dan terus berulang dari generasi ke generasi.

Psikolog menekankan pentingnya kesadaran diri bagi para orang tua untuk mengakui bahwa tidak semua luka bersumber dari kekerasan fisik. Kadang, trauma tumbuh dari kata-kata kasar, penyangkalan emosi, dan minimnya kasih sayang yang sehat.

Pemulihan bisa dimulai dengan belajar memahami emosi diri, membangun komunikasi yang penuh empati, dan berani mencari bantuan profesional bila diperlukan. (*)

  1. ↩︎