KENDARINEWS.COM–Saat ini, tubuh manusia bukan hanya hidup di dunia nyata. Ia juga hadir dalam bentuk digital di-scroll, disukai, dikomentari, bahkan dibandingkan setiap hari. Sayangnya, tubuh yang tampil di media sosial seringkali bukan gambaran realita, melainkan konstruksi visual yang mengundang krisis kesehatan: gangguan makan di kalangan remaja.
Di balik tren video before-after, konten ekstrem “what I eat in a day”, hingga tagar viral seperti #SkinnyTok di TikTok, terselip satu narasi dominan: tubuh kurus adalah tujuan utama. Tanpa sadar, algoritma sosial media mendorong jutaan remaja mengikuti pola diet berbahaya, membatasi asupan gizi, dan mengejar bentuk tubuh yang tidak realistis.
Statistik Gangguan Makan Meningkat Drastis
Dilansir dari kompas.id, studi dari The American Journal of Clinical Nutrition mencatat lonjakan prevalensi gangguan makan secara global, dari 3,5% (tahun 2000) menjadi 7,8% pada 2018. Lonjakan ini sejalan dengan maraknya media sosial yang menyebarkan standar tubuh yang kaku dan seragam, terutama pada perempuan muda.
Dalam laporan yang sama, Marie Galmiche dan timnya mengungkap bahwa gangguan makan kini bukan kasus langka. Mereka adalah gejala dari zaman, diperparah oleh paparan konten digital yang membombardir remaja dengan ilusi kesempurnaan tubuh.
Ketika Algoritma Memicu Krisis Gizi
Media sosial bukan penyebab utama gangguan makan, namun perannya sebagai pemicu semakin diakui oleh para profesional kesehatan. Nathalie Godart, psikiater anak dan remaja, menyebut platform digital sebagai “pemicu sekaligus akselerator” yang memperparah kondisi pasien.
“Pasien kami bukan sekadar mencari perhatian,” ujarnya. “Mereka berjuang dengan realita yang disangkal oleh layar ponsel mereka setiap hari.”
Algoritma TikTok, misalnya, terbukti mendorong pengguna yang menunjukkan ketertarikan pada konten diet ke dalam pusaran konten yang lebih ekstrem termasuk tips menyakiti diri dan puasa berlebihan. CCDH (Center for Countering Digital Hate) menemukan akun dengan nama bertema diet menerima rekomendasi konten berbahaya lebih banyak daripada topik lainnya.
Diet Viral, Dampak Nyata
Banyak remaja tanpa pengawasan medis mencoba tren diet keto ekstrem, puasa intermiten, bahkan konsumsi pil pelangsing demi terlihat seperti idola Instagram. Padahal, tubuh mereka masih dalam tahap pertumbuhan. Pembatasan kalori yang berlebihan bisa mengganggu hormon, memicu kelelahan kronis, depresi, bahkan siklus menstruasi yang tidak normal.
“Saya punya pasien yang percaya mereka hanya perlu 1.000 kalori sehari. Mereka menolak saran saya karena TikTok bilang lain,” kata Carole Copti, ahli gizi asal Prancis.
Distorsi Citra Tubuh dan Krisis Identitas
Standar tubuh ideal yang dibentuk media sosial perlahan mengubah cara remaja memandang dirinya sendiri. Banyak dari mereka mulai membenci tubuh mereka hanya karena tidak cocok dengan narasi visual yang terus mereka konsumsi.
Sementara itu, pemengaruh yang tampak “sehat” justru sering menyebarkan informasi nutrisi keliru, menyamarkan konten berbahaya sebagai gaya hidup. Bahkan ada yang secara terang-terangan memamerkan kebiasaan muntah setelah makan dan menerima uang dari platform.
“Ketika like dan uang datang dari perilaku tidak sehat, sulit bagi mereka untuk berhenti,” ujar Charlyne Buigues, perawat spesialis gangguan makan.
Literasi Digital dan Peran Keluarga
Para ahli sepakat bahwa melawan tren ini tidak bisa hanya dilakukan dengan memberi label hoaks atau menyensor konten. Upaya paling efektif adalah membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis, literasi digital, dan interaksi sehat di dunia nyata.
Komunikasi terbuka di rumah, diskusi tentang kesehatan tubuh dan makanan, serta akses terhadap bantuan psikologis harus diperluas. Para profesional kesehatan juga dituntut untuk aktif di media sosial, menciptakan narasi tandingan yang edukatif dan berbasis ilmu.
Karena pada akhirnya, tubuh manusia tidak ditentukan oleh jumlah “like”, tapi oleh bagaimana ia dipelihara, dihargai, dan diterima apa pun bentuknya.(*)
