KENDARINEWS.COM — China dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) resmi menandatangani peningkatan perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN–China (ACFTA) versi 3.0, langkah strategis yang menandai babak baru dalam kerja sama ekonomi antara kedua pihak di tengah ketidakpastian global dan meningkatnya ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat.
Penandatanganan dilakukan pada Selasa (28/10) oleh Menteri Perdagangan China Wang Wentao dan Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia Tengku Zafrul Abdul Aziz, disaksikan langsung oleh Perdana Menteri China Li Qiang dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Malaysia saat ini menjabat sebagai ketua bergilir ASEAN, yang kini beranggotakan 11 negara setelah Timor Leste resmi bergabung.
Perjanjian ACFTA 3.0 merupakan peningkatan kedua sejak perjanjian awal pada 2002, yang menjadikan ACFTA sebagai perjanjian perdagangan bebas pertama bagi China dan ASEAN dengan mitra eksternal utama. Kesepakatan ini mulai berlaku pada 2010, kemudian mengalami pembaruan pertama pada 2019, dan kini kembali dimodernisasi dengan cakupan lebih luas.
Versi terbaru kali ini menitikberatkan pada ekonomi digital dan hijau, konektivitas rantai pasok, serta peluang baru di sektor pertanian, farmasi, dan teknologi finansial (fintech). Beijing menyebut perjanjian ini sebagai langkah untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan kerja sama lintas sektor yang berkelanjutan.
Dalam sambutan pembukaan KTT ASEAN – China, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyebut peningkatan ACFTA 3.0 sebagai “langkah penting dalam mempererat kerja sama ekonomi dan memperkuat integrasi kawasan.”
“Saya berterima kasih kepada rekan-rekan saya di ASEAN dan China atas pencapaian luar biasa ini dalam perjanjian perdagangan bebas pertama ASEAN–China,” ujar Anwar, dikutip dari CNA.id.
Perdana Menteri China Li Qiang menegaskan bahwa kesepakatan baru ini menandai peluang besar untuk memperluas dan memperdalam hubungan ekonomi kedua pihak.
“China dan ASEAN adalah tetangga dan saudara yang baik. Selama kita bersatu dan memperkuat diri, kita dapat menghadapi tantangan apa pun,” kata Li.
Ia juga memperingatkan meningkatnya unilateralisme dan proteksionisme yang mengganggu tatanan perdagangan global, menyindir kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara.
“Dalam menghadapi politik kekuasaan dan intimidasi ekonomi, kita tidak akan memperoleh apa pun dari perpecahan. Semakin sulit situasinya, semakin teguh kita harus menjaga persatuan dan kemandirian,” ujarnya menegaskan.
Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura menyebut bahwa ACFTA 3.0 akan membuka peluang baru bagi pelaku usaha di bidang ekonomi digital, ekonomi hijau, dan rantai pasok.
“Kesepakatan ini membantu perusahaan di Asia Tenggara dan China menangkap peluang baru di sektor seperti kecerdasan buatan dan teknologi finansial,” tulis kementerian itu dalam pernyataan resmi.
Perjanjian tersebut juga memuat komitmen baru untuk menentang praktik bisnis yang tidak adil dan memperkuat perlindungan konsumen daring lintas negara.
China telah menjadi mitra dagang terbesar ASEAN selama 16 tahun berturut-turut. Berdasarkan data bea cukai China, nilai perdagangan kedua pihak mencapai 5,57 triliun yuan (Rp13.012 triliun) dalam tiga kuartal pertama 2025, naik 9,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, ASEAN kini menempati posisi ekonomi terbesar kelima di dunia dengan PDB mencapai US$3,9 triliun (Rp64.799 triliun) dan nilai perdagangan bilateral dengan China sebesar US$771 miliar (Rp12.808 triliun) pada tahun lalu.
Perundingan ACFTA 3.0 dimulai pada November 2022 dan rampung pada Mei 2025. Kementerian Perdagangan China menyebut perjanjian baru ini akan memperdalam integrasi rantai produksi dan pasok, serta memberikan kepastian lebih besar bagi perdagangan regional dan global.
Selain itu, kesepakatan ini juga dirancang untuk memperkuat ketahanan rantai pasok dan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di kawasan.
Para analis menilai ACFTA 3.0 sebagai “peningkatan yang sangat dibutuhkan” untuk memperkokoh fondasi ekonomi kawasan, meski mereka mengingatkan agar negara-negara Asia Tenggara tetap waspada terhadap potensi limpahan kelebihan kapasitas industri China yang dapat menekan produksi lokal. (*)
