Waspada Virus Hanta, Ancaman Mematikan dari Tikus Muncul di Indonesia

KENDARINEWS.COM—Kasus pandemi Covid-19 baru saja berlalu, Indonesia kini menghadapi ancaman baru dari virus Hanta. Kementerian Kesehatan mencatat, delapan (8) kasus virus Hanta tipe Haemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) tersebar di empat provinsi, yakni DI Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara (Sultra).

Meski Sulawesi Tenggara (Sultra) belum terdeteksi kasusnya, namun masyarakat dan pemda tetap perlu waspada serta mengantisipasi. Sebab, provinsi tetangga, yakni Sulut sudah ada kasus muncul.

Juru Bicara Kemenkes RI, drg. Widyawati menyebut, delapan kasus tersebut ditemukan, berdasarkan hasil surveilans hingga akhir Juni 2025, menyusul laporan warga Bandung Barat yang terinfeksi dan sempat dirawat di RSUP Hasan Sadikin.

“Pasien yang terinfeksi virus Hanta umumnya mengalami gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri badan, rasa lemas (malaise), dan ikterik jaundice atau perubahan warna tubuh menjadi kekuningan,” ungkap Widyawati sebagaimana dilansir dari Jawa Pos, Kamis (3/7/2025).

Meski menimbulkan kekhawatiran, Kementerian Kesehatan memastikan seluruh pasien kini telah pulih. “Kondisinya seluruh pasien sudah sembuh dengan tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) 0 persen,” jelasnya.

Namun demikian, Pakar Epidemiologi dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, memperingatkan, jumlah kasus sebenarnya bisa jauh lebih banyak dari yang tercatat.

Ia menyoroti keterbatasan sistem surveilans dan kemiripan gejala virus Hanta dengan penyakit lain seperti leptospirosis, demam berdarah, dan sepsis.

“Salah satu masalahnya adalah gejala virus Hanta sangat mirip dengan penyakit lain, sehingga diagnosis sering tertunda atau keliru. Selain itu, virus ini belum banyak diteliti di Indonesia,” terangnya.

Menurutnya, beberapa penelitian kecil menunjukkan adanya antibodi virus Hanta pada sampel darah warga, yang berarti infeksi sudah pernah terjadi sebelumnya.

Lanjut dia, wilayah padat penduduk, pasar dengan sanitasi buruk, serta area pertanian yang tidak dikelola dengan baik merupakan lokasi rawan penularan.

“Indonesia juga kerap dilanda banjir saat musim hujan, yang memicu peningkatan populasi tikus, hewan utama pembawa virus Hanta,” terangnya.

DPR Minta Kemenkes Bertindak

Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti munculnya delapan kasus virus Hanta tipe HFRS (Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome) yang ditemukan di sejumlah wilayah Indonesia, seperti Jogjakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Utara.

Ia mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera mengambil langkah konkret untuk mencegah penyebaran lebih luas.

“Virus Hanta mungkin belum menyebar secara masif, tetapi justru ini alasan kita harus bertindak cepat. Fokusnya tidak hanya pada respons darurat, tetapi juga membangun kemampuan deteksi dini dan respons medis yang efektif di tingkat desa,” ujar Puan, Kamis (3/7/2025).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, selama periode 15–21 Juni 2025, tercatat delapan kasus HFRS yang semuanya telah dinyatakan sembuh.

Penularan virus ini berasal dari paparan tikus yang terinfeksi, terutama di area permukiman padat dan zona pertanian.

Menurut Puan, lemahnya kesiapan fasilitas kesehatan primer dan minimnya tenaga medis terlatih di daerah rawan menjadi persoalan utama dalam menghadapi penyakit zoonosis, yakni penyakit yang menular dari hewan ke manusia.

“Penanganan harus dimulai dengan pendekatan teknis yang terukur dan solusi yang bisa langsung diterapkan di lapangan,” tegasnya.

Puan juga mendorong penyediaan alat diagnosis cepat (rapid test berbasis molekuler) di Puskesmas dan klinik-klinik yang berada di wilayah rentan. Ia menekankan pentingnya pelatihan bagi tenaga medis agar dapat mengenali spektrum gejala virus Hanta maupun penyakit menular serupa.

“Prioritaskan daerah padat permukiman, dekat pasar tradisional, dan area pertanian,” ujarnya.

Puan menyoroti pentingnya pendekatan lintas sektor dalam upaya pencegahan, termasuk pengendalian populasi tikus berbasis komunitas. Menurutnya, hal ini membutuhkan kolaborasi antara Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Pertanian.

“Virus ini muncul karena habitat manusia dan hewan pengerat makin berdekatan. Jadi, pendekatannya tidak bisa sektoral. Harus ada respons lintas sektor dengan target terukur, seperti turunnya populasi tikus dan meningkatnya indikator sanitasi,” paparnya.

Ia juga mengingatkan, virus Hanta termasuk penyakit zoonosis yang kerap luput dari perhatian, padahal dampaknya bisa sebanding dengan rabies, flu burung, atau leptospirosis. Rendahnya literasi masyarakat tentang bahaya zoonosis menjadi penyebab utama kelengahan.

“Jika masyarakat tidak tahu bahayanya, mereka bisa menganggap gejala awal sebagai penyakit ringan dan tidak segera berobat,” tutur Puan.

Karena itu, ia mendorong pemerintah memperbanyak sosialisasi dan edukasi, khususnya di daerah-daerah yang dekat dengan habitat tikus, seperti pasar, lahan pertanian, dan kampung-kampung.

“Edukasi harus menyentuh langsung masyarakat. Jangan tunggu sampai wabah menyebar luas,” imbuhnya. (JP/ing)