Cara Membayar Utang Puasa Yang Menumpuk Bertahun-tahun, Simak Pendapat Buya Yahya

KENDARINEWS.COM—Setiap umat Muslim wajib berpuasa selama satu bulan penuh. Meski wajib menunaikannya, tetapi ada beberapa kalangan yang tidak bisa berpuasa karena beberapa alasan.

Mulai dari sedang haid, nifas, lanjut usia, musafir atau sedang melakukan perjalanan jauh, dan beberapa alasan lainnya. Bagi yang tidak menuntaskan puasa selama satu bulan, mereka wajib mengganti puasa tersebut di bulan-bulan. Tidak menunaikan ibadah puasa pada Ramadhan dianggap sebagai utang. Utang itu harus diganti.

Waktu mengganti utang puasa  dapat dilakukan setelah 1 Syawal hingga bertemu Ramadhan tahun berikutnya. Utang puasa tidak boleh dibiarkan menumpuk hingga sampai Ramadhan tahun berikutnya

Jika seseorang menumpukutang puasanya hingga Ramadhan tahun depannya, maka orang tersebut tidak hanya harus mengganti puasanya, tetapi juga membayar denda berupa 1 mud beras atau setara 750 gram beras sejumlah dengan hari yang ditinggalkan.

Nah, apa jadinya jika saking menumpuknya utang puasa seseorang? Bahkan ada yang sampai lupa jumlah utangnya? Lantas bagaimana cara menggantinya?

Pertanyaan ini pernah disampaikan kepada Buya Yahya ulama kondang Jawa Barat. Dalam satu forum tanya jawab, Buya Yahya pernah mendapatkan surat pertanyaan dari seseorang jemaah tentang bagaimana cara membayar utang puasa yang sudah tak diketahui jumlahnya

Dalam video forum tersebut, Buya Yahya berusaha menjelaskan, bahwa orang-orang yang bertanya soal utang puasa ini adalah orang-orang yang punya keinginan untuk berubah. Maka, umat muslim lain harus menyambutnya dengan suka cita.

“Beliau ini istimewa. Berasal dari lingkungan yang tidak baik, tetapi berusaha ingin hijrah menjadi lebih baik. Kalau kita ini biasa saja, sudah dari dulu lingkungannya memang baik,” ucap Buya Yahya.

Ulama bernama lengkap Yahya Zainul Ma’arif Jamzuri tersebut menyatakan, untuk soal membayar utang puasa tetap harus menghormati keputusan-keputusan fikih yang saklek.

“Sebagai da’i, kami harus jawab sebagaimana fikih menjawab. Namun, kami kemas dengan lebih indah. Agar mereka yang mau hijrah ini tidak kemudian berpaling,” ujar Ulama kelahiran Blitar tersebut.

Menurut Buya Yahya, hukum melakukan qadha bagi seorang muslim berbeda dengan mualaf. Seorang mualaf mungkin bisa merelakan dosa masa lalunya. Namun seorang muslim tidak bisa demikian. Utang ibadah di masa lalu akan terus diminta pertanggungjawabannya.

Oleh karena itu, berapa tahun pun seorang muslim tidak melakukan puasa, maka kewajiban membayar utangnya tak akan pernah hilang. Selain itu, menurut fikih utang harus dibayar kontan, tidak boleh ditunda.

Itulah bagaimana fikih memandang sebuah hukum, keras, dan lurus. Namun sebagaimana pernyataan Buya Yahya tersebut bahwa segalanya bisa disampaikan melalui sudut pandang yang indah melalui para da’i atau mubalig.

Menurut Buya Yahya, solusi bagi yang punya utang puasa bertahun-tahun. Pertama, harus menyesali betul perbuatannya dengan bertaubat secara nasuha. Kedua, orang itu diharapkan mencatat prediksi jumlah puasa yang harus di-qadha’. Tidak harus sesuai. Yang penting ada catatan sebagai tolok ukur.

Ketiga, membayar utang puasa semampunya. Dengan cara berpuasa di masa-masa puasa sunah menggunakan niat puasa wajib. Dengan membiasakan demikian, insya Allah lama kelamaan akan terbayar lunas.

Keputusan itu menurut Buya Yahya sudah tepat. Apalagi untuk orang-orang hijrah yang usianya sudah tak muda. “Misalkan berusia 40 atau 45 tahun. Tentu dia akan kesulitan bila langsung membayar utang tersebut secara kontan,” tutur Buya.

Bahkan jika orang tersebut meninggal sebelum semua puasanya terbayar, maka cukuplah usahanya selama ini untuk membayar qadhanya sebagai bukti kesungguhannya dalam bertaubat.

“Kalau ternyata meninggal sebelum habis catatan di bukunya, tenang saja. Anda sudah berusaha, catatan itu buktinya, Allah Maha Pengampun akan mengampuni dosa-dosamu,” pungkas Buya Yahya. (jp/kn)