KENDARINEWS.COM — Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris mengatakan, pemerintah tetap perlu waspada terkait rencana mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi.
Menurut Charles, kewaspadaan itu diperlukan sebab situasi pandemi di dunia masih belum mereda sepenuhnya. “Bukan berarti kita bisa los (bebaskan) semuanya, tetap harus waspada memperhatikan kondisi yang ada di lapangan dan memperhatikan kondisi yang terjadi di dunia,” ujar Charles kepada wartawan di Jakarta Utara, Selasa (15/3).
Saat ini, ancaman varian baru Covid-19 di dunia masih mengintai. Baru-baru ini, kata Charles, ada varian SARS-CoV-2 B.1.1.529 Omicron BA.2 yang juga perlu diwaspadai. Charles mengatakan, pemerintah berharap subvarian Omicron itu tidak menyebabkan rumah sakit (RS) di Indonesia, khususnya di Jakarta, menjadi penuh.
Agar itu tidak terjadi, pemerintah harus memberlakukan sedikit pembatasan untuk mengendalikan situasi jika mulai ada tanda-tanda kenaikan angka penularan di wilayah tertentu, seperti RS mulai penuh atau pelayanan kesehatan penyakit tertentu mulai tidak optimal.
Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat pencapaian vaksinasi primer dan vaksinasi penguat (booster). Hal itu semua riset dan kajian dari lembaga kesehatan di dunia menunjukkan bahwa vaksinasi menurunkan risiko kematian akibat Covid-19.
Kalau sudah masuk fase endemi, kata dia, silakan saja tetapi rakyat harus dibekali perlindungan yang optimal dalam bentuk vaksinasi. “Saya yakin varian BA.2 ini bukan varian terakhir Covid-19. Artinya negara harus bisa memberikan perlindungan optimal bagi rakyat dalam bentuk vaksinasi,” kata Charles.
Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan secara epidemiologis belum semua indikator terpenuhi agar pandemi di Indonesia menjadi endemi.
”Pemerintah jangan gegabah dan harus memprioritaskan pendekatan epidemiologis,” kata Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan Covid-19 Syamsul Arifin seperti dilansir dari Antara di Banjarmasin.
Dia menjelaskan, penetapan status pandemi menjadi endemi masih diperlukan waktu transisi untuk memonitor perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia. Hal itu penting menjadi pertimbangan agar dampaknya tidak merugikan rakyat.
Secara epidemiologis, kata Syamsul, Covid-19 akan berubah menjadi endemi tatkala tingkat penularan terkendali dan telah terbentuk kekebalan kelompok (herd immunity) di tengah masyarakat yang bisa terwujud melalui program vaksinasi. Dia menjelaskan, penularan sudah terkendali dalam suatu wilayah menurut WHO di antaranya penurunan insidensi kasus konfirmasi dan probable yang berkelanjutan minimal 50 persen selama 3 minggu terakhir.
Dia menyebutkan, pada 8 Maret ada 30.148 kasus, sementara data kasus Covid pada 3 minggu sebelum (13 Februari) 44.526 kasus. Itu menunjukkan penurunan kasus konfirmasi baru 32,29 persen.
Kemudian positivity rate yaitu perbandingan antara jumlah kasus positif dengan jumlah tes yang dilakukan kurang dari 5 persen minimal selama 2 minggu terakhir. Pada 8 Maret sebesar 13,26 persen dan 2 minggu lalu (21 Februari) sebesar 14,2 persen, data tersebut menunjukkan dalam 2 minggu terakhir positivity rate belum ada yang berada di bawah 5 persen.
Adapun penurunan jumlah kematian pada kasus terkonfirmasi selama 3 minggu terakhir pada 8 Maret jumlah kematian 401 jiwa dan pada 13 Februari jumlah kematian 111 jiwa. ”Data ini menunjukkan bahwa jumlah kematian menurut angka absolut malah meningkat. Meskipun jika kita analisis dari CFR menurun dari 3,02 persen menjadi 2,60 persen,” ujar Syamsul Arifin, guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran ULM itu.
Sementara itu, penurunan jumlah kasus terkonfirmasi dan probable yang dirawat di rumah sakit dan kasus yang masuk ICU selama minimal 2 minggu terakhir yaitu 8 Maret, jumlahnya 28 persen. Angka itu mengalami penurunan dibandingkan 2 minggu sebelumnya yaitu 31 persen. ”Kondisi baik yang wajib dipertahankan terus dalam upaya menuju endemi,” papar Syamsul.
Adapun untuk vaksinasi lengkap pada 8 Maret, lanjut dia, tercatat 148.587.718 orang dengan sasaran nasional 208.265.720 jiwa. Sehingga cakupan telah mencapai 71,34 persen. ”Akan tetapi jika kita hitung dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2022, cakupan vaksinasi dosis lengkap baru 54,25 persen,” terang Syamsul Arifin.(jpg)
