Presiden ICC Desak PBB Laksanakan 33 Surat Penangkapan Tertunda

KENDARINEWS.COM — Presiden Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Hakim Tomoko Akane, mendesak negara-negara anggota PBB untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Statuta Roma, khususnya terkait pelaksanaan surat perintah penangkapan yang hingga kini belum dijalankan. Seruan tersebut disampaikan saat ia mempresentasikan Laporan Tahunan ICC 2025 di hadapan Majelis Umum PBB.

Dalam pidatonya yang dikutip dari Sindonews.com, Akane mengungkapkan bahwa 33 surat perintah penangkapan yang diketahui publik masih belum dilaksanakan oleh negara-negara pihak. Ia menekankan bahwa kegagalan dalam mengeksekusi perintah tersebut menghambat proses hukum internasional dan merugikan para korban kejahatan berat.

“Pengadilan sangat mendesak Negara-negara Pihak untuk terus memenuhi kewajiban hukum mereka sesuai komitmen yang dibuat saat penandatanganan Statuta Roma,” ujar Akane.

Salah satu kasus yang disorot adalah investigasi terkait konflik di Palestina, termasuk surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Akane menyatakan bahwa ICC telah meningkatkan kemampuan pelacakan para tersangka, namun tanpa kerja sama negara-negara pihak, upaya tersebut tidak akan membuahkan hasil.

“Surat perintah penangkapan tidak dapat dilaksanakan tanpa kerja sama negara-negara,” tegasnya.

Ia kembali menyerukan kepada seluruh negara anggota PBB untuk aktif membantu dalam proses penangkapan dan pemindahan individu yang menjadi subjek surat perintah penangkapan ICC.

Selain menyoroti aspek penegakan hukum, Akane menekankan bahwa para korban tetap menjadi pusat misi ICC. Menurutnya, partisipasi korban dalam proses peradilan adalah elemen vital yang memastikan bahwa suara mereka didengar dan keadilan dapat ditegakkan.

“Pengadilan memberi para korban ruang untuk menceritakan kisah mereka dan harapan bahwa kebenaran akan diakui. Memberikan harapan kepada umat manusia yang menderita merupakan inti dari keberadaan Pengadilan,” ujarnya.

Dalam laporan tersebut, ICC juga menyoroti program reparasi dan keadilan restoratif, yang tidak hanya menawarkan kompensasi, tetapi juga membantu membangun kembali masyarakat yang hancur akibat konflik.

Meski menghadapi tantangan politik dan operasional yang semakin kompleks, Akane menegaskan bahwa ICC akan tetap menjalankan mandatnya secara independen dan imparsial.

“Terlepas dari semua tantangan, ICC akan terus menegakkan pertanggungjawaban pidana individu. Dengan demikian, Mahkamah berharap dapat memperkuat supremasi hukum di komunitas internasional,” pungkasnya. (*)