Pakar UHO Sebut Kelangkaan Minyak Kelapa di “Pulau Kelapa” Wawonii

ANALISA KELANGKAAN MINYAK KELAPA (MINYAK GORENG) DI PULAU KELAPA (WAWONII) SUATU FAKTA IRONIS, TANTANGAN DAN HARAPAN DARI PERSPEKTIF KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI

(Bagian dari Hasil Penelitian Disain Model Pengembangan Agroindustri Kelapa Berkelanjutan di Kabupaten Konawe Kepulauan)

La Rianda Baka, Thamrin, Idrus Salam dan Ulyasniati (dosen Fakultas Pertanian UHO, Mahasiswa Program Doktor (S3) UHO)

  1. PENGANTAR

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku usaha atau petani yang bergerak dalam bidang budidaya dan pengolahan kelapa di Sulawesi Tenggara dan khususnya di Kabupaten Konawe Kepulauan kebanyakan tergolong dalam klasifikasi Usaha Mikro. Jika mengacu pada data statistik secara umum pelaku Usaha Mikro sesungguhnya memiliki peran strategis namun faktanya cenderung terabaikan akibat hegemoni kapitalistik dari kalangan pengusaha Besar dan Menengah. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah Usaha Mikro seluruh Indonesia sebanyak 57.189.393 (98,77%) dari total usaha. Sementara jumlah Usaha Besar sebanyak 5.066 (0,01%) tetapi menguasai perputaran ekonomi 95 %, disusul oleh jumlah Usaha Menengah sebanyak 52.106 (0,09%) dan Usaha Kecil sebanyak 654.222 (1,13%). Data tersebut sesungguhnya memberikan signal kuat bahwa usaha mikro sangat penting untuk diberdayakan karena jumlah usaha mikro yang dominan tersebut mampu menyerap tenaga kerja 97 % disertai kontribusinya terhadap PDB sebesar 61,07 %.

Berkaitan dengan peran strategis tersebut maka pada tulisan ini menganalisis fakta yang terjadi pada salah satu pulau yang kita ketahui bersama sebagai pulau kelapa (Pulau Wawonii) yang seharusnya menjadi lumbung dan gudang minyak kelapa yang akan mensuplai kebutuhan minyak goreng minimal di wilayahnya bahkan kebutuhan minyak goreng Sulawesi Tengara sampai ekspor. Namun, faktanya cukup ironis karena kondisi fakual saat ini menunjukan bahwa produk minyak goreng yang menguasai seluruh pasar di Konawe Kepulauan bahkan pasar SulawesiTenggara adalah minyak goreng yang diproduksi dari kelapa sawit oleh pengusaha besar seperti Bimoli, Filma, Tropical, Kunci Mas. Pada sisi yang lain tanaman kelapa rakyat memenuhi hampir seluruh daratan pulau Wawonii, cenderung terabaikan dan tidak diolah. Sebagian besar petani kelapa menjual hasil kelapanya dalam bentuk gelondongan dan hanya sebagian kecil anggota masyarakat yang mengolah kelapa menjadi minyak goreng untuk kebutuhan sendiri dan mengolah kelapa menjadi kopra. Kenapa bisa terjadi demikian. Berikut akan kami paparkan dari aspek teknis produksi dan kelembagaan.

  1. KONDISI FAKTUAL TANAMAN KELAPA DAN OLAHANNYA

Tantangan utama dalam pengembangan budiaya maupun pengolahan kelapa rakyat adalah berhadapan dengan pesaing utamanya yaitu tanaman kelapa sawit yang dimotori oleh pengusaha besar swasta. Akibat persaingan yang tidak seimbang dari berbagai dimensi antara usaha kelapa kepemilikan rakyat dan usaha kelapa sawit kepemilikan pengusaha besar swasta maka melahirkan beberapa fakta ironis yang akan kami uraikan dalam tulisan ini.

A. Fakta Ironis dari sudut pandang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Budidaya Tanaman Kelapa Rakyat

Fakta ironis yang dimaksud dalam tulisan ini ketika data tanaman kelapa rakyat disandingkan dengan data tanaman kelapa sawit. Hasil penelusuran data statistik menunjukkan bahwa selama 2 tahun terakhir (2019-2020) laju pertambahan luas areal tanaman kelapa sawit (ekstensifikasi) di Sulawesi Tenggara bertambah secara signifikan yaitu seluas 1674 ha (dari 6732 ha menjadi 8406 hektar) dengan laju tingkat produksi buah kelapa sawit dari 4602 ton menjadi 5178 ton. Fakta ini memberikan tanda yang kuat bahwa boleh jadi suatu ketika luas areal dan produksi usaha kelapa rakyat akan tersisihkan dan akan digantikan oleh tanaman kelapa sawit. Fakta tersebut telah terjadi di Kabupaten Kolaka yang pada tahun 2020 telah dibudidayakan tanaman kelapa sawit seluas 4924 ha menyalip luas tanaman kelapa rakyat seluas 4015 ha. Dalam waktu relatif dekat akan menyusul Kabupaten Konawe Selatan yang pada tahun 2019 tanaman kelapa sawit seluas 456 ha meningkat menjadi 1578 ha pada tahun 2020. Salah satu fakta yang masih menggembirakan bagi petani kelapa di Kabupaten Konawe Kepulauan berdasarkan penelusuran data statistik ternyata pada wilayah tersebut belum ada yang membudidayakan tanaman kelapa sawit, sehingga secara lokalitas belum mempengaruhi petani kelapa rakyat untuk beralih ke tanaman lain. Pergeseran tersebut menurut hemat kami adalah suatu ironi dikarenakan tanaman kelapa rakyat yang sudah membudaya turun temurun dan memiliki multifungsi namun karena kurang mendapat perhatian yang serius dan sungguh-sungguh secara berkelanjutan serta berhadapan dan bertarung secara bebas dengan gerakan budidaya tanam kelapa sawit sebagai komoditas pendatang baru yang dimotori oleh pengusaha besar menjadikan kelapa rakyat akan mengalami nasib mati suri di kampung sendiri.

Dari segi umur tanaman dan jarak tanam maka kelapa rakyat di Kabupaten Konawe Kepulauan kebanyakan telah berumur tua dengan sistem jarak tanam yang relatif tidak beraturan. Fakta ini dapat dimaklumi karena pada saat ditanam oleh petani sekitar 50 – 60 tahun yang silam selain ditanam pada lahan yang mereka miliki relatif sempit (< 1 ha) juga disertai dengan kurangnya bahkan tidak ada penyuluhan tentang teknis budidaya standar industri pada saat itu. Akibatnya adalah kesulitan dan relatif menambah biaya pengangkutan hasil panen kelapa dalam bentuk gelondongan. Hal tersebut tidak seperti halnya kelapa sawit yang tertata sedemikian rupa jarak tanamnya sehingga memungkinkan kendaraan roda empat masuk sampai ke tempat penampungan sementara. Selain hal tersebut, dari sudut pandang intensifikasi tanaman kelapa rakyat relatif secara alami dengan minim pemupukan sementara kelapa sawit relatif intensif dalam hal pemupukan. Secara ilustrasi dapat disajikan seperti pada Gambar 1 berikut.

Gambaran perbandingan jarak tanam dan pengangkutan hasil panen antara kelapa rakyat dan kelapa sawit.

B. Fakta Ironis dari sudut pandang Proses Pengolahan dan Pemasaran Minyak Kelapa Rakyat

Hasil penelusuran menunjukkan bahwa proses pengolahan dan pemasaran minyak kelapa rakyat lebih memprihatinkan lagi dibandingkan dengan sistem budidayanya. Proses pengolahan kelapa menjadi minyak kelapa secara teknis tidak dapat dipisahkan dengan sistem budidaya sebagai pensuplai bahan baku industri pengolahan. Oleh karena itu, persoalan kepemilikan tanaman kelapa yang relatif kecil, sistem penanaman yang tidak beraturan serta distribusi lokasi yang relatif terpencar menimbulkan tambahan biaya input bagi pengolah kelapa rakyat. Fakta yang terjadi akhirnya petani mengolah kelapa miliknya menjadi minyak kelapa dalam skala produksi yang sangat kecil bahkan cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Fakta yang lebih ironis adalah banyak petani kelapa rakyat membeli minyak kelapa untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari dari minyak kelapa sawit seperti minyak Bimoli, Filma, Kunci Mas dan yang lainnya. Hal ini membuktikan bahwa petani kelapa dan pengolah kelapa minyak tidak berdaya berhadapan dengan gempuran minyak kelapa sawit. Kemudian muncul pertanyaan apakah minyak kelapa rakyat tidak akan pernah mampu bersaing dengan minyak goreng dari kelapa sawit. Kajian akademik menunjukkan bahwa sesungguhnya minyak kelapa rakyat jauh akan lebih mampu bersaing dengan minyak kelapa sawit dengan syarat ditata kembali atau revitalisasi sistem budidaya dan sistem pengolahan kelapa rakyat dalam suatu pola kelembagaan yang terpadu secara holistik. Kelembagaan yang kami maksudkan ini akan kami uraikan pada bagian tersendiri dalam tulisan ini.

Hasil penelusuran menunjukkan ketimpangan yang ironis antara sistem pengolahan minyak kelapa rakyat dan sistem pengolahan minyak kelapa sawit. Sebagai akibat keterbatasan bahan baku dan peralatan yang dimiliki serta kemampuan modal yang tidak memadai maka pengolahan kelapa rakyat dilakukan secara tradisi turun temurun dalam skala rumah tangga (home industry) sebaliknya pengolahan minyak kelapa sawit yang ditopang oleh pemilik modal usaha besar maka sistem pengolahannya relatif modern dan lebih efisien. Dari sudut pandang sistem pengolahan tersebut maka dapat dipastikan minyak kelapa rakyat akan kalah bersaing dengan minyak kelapa sawit. Hal tersebut menyebabkan pergeseran konsumen yang selanjutnya minyak kelapa rakyat tersisihkan dan tidak menjadi tuan rumah diwilayah sendiri. Ketika terjadi kelangkaan minyak goreng maka dengan sendirinya pusat produksi kelapa tidak mampu mengimbangi kelangkaan tesebut. Gambaran sistem pengolahan minyak kelapa rakyat dan sistem pengolahan kelapa sawit secara ilustratif ditinjukkan pada Gambar 2 berikut.

Gambaran perbandingan pengolahan minyak kelapa rakyat dan pengolahan minyak kelapa sawit

Lebih jauh lagi jika dilihat dari segi peralatan dan sistem pengemasan produk minyak yang dihasilkan. Oleh karena jumlah produk yang dihasilkan dalam bentuk minyak kelapa rakyat jumlahnya relatif sedikit maka sistem pengemasannya menggunakan peralatan sederhana yang dikemas secara manual dengan menggunakan kemasan plastik biasa, sementara produk minyak kelapa sawit dikemas dengan proses mekanis dengan menggunakan kemasan plastik yang telah didesain sedemikian rupa sehingga menarik konsumen. Dari sudut pandang proses pengemasan ini maka dapat dipastikan kembali bahwa minyak kelapa rakyat akan kalah bersaing dengan minyak kelapa sawit dipasaran. Kemudian kita akan bertanya apakah minyak kelapa rakyat tidak bisa diberdayakan proses pengemasannya sehingga mampu bersaing dengan minyak kelapasawit. Hasil kajian akademik menunjukkan sangat dimungkinkan ketika sistem pengolahan minyak kelapa rakyat ditata dalam satu sistem produksi terpadu secara kelembagaan. Gambaran peralatan dan hasil produk yang dikemas antara minyak kelapa rakyat dan minyak kelapasawit dapat ditunjukkan pada ilustrasi Gambar 3 berikut.

Proses Pengemasan dan Hasil Kemasan produk Minyak Kelapa Rakyat dan Minyak Kelapa Sawit.

Berdasarkan permasalahan yang dipaparkn di atas maka produk minyak kelapa rakyat hanya disuplai pada pasar tradisional dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga tidak memenuhi kebutuhan konsumen terlebih kualitas dan harga yang tidak sesuai harapan konsumen. Sebaliknya minyak kelapa sawit selain disuplai pada pasar tradisonal juga memenuhi etalase pada pasar modern seperti swalayan dan indomart. Fakta tersebut semakin menjadikan minyak kelapa rakyat tersisihkan terlebih lagi pada pasar tradisional lebih banyak dimainkan kualitas sehingga terkadang mendapat pengawasan dari pihak berwajib. Untuk lebih jelasnya gambaran perbandingan etalase minyak kelapa sawit dan minyak kelapa rakyat ditunjukkan pada Gambar 4 berikut :

Etalase Minyak Goreng Kelapa Sawit dan Minyak Goreng Kelapa Rakyat
  1. PENATAAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI MINYAK KELAPA RAKYAT SEBAGAI SOLUSI DAN HARAPAN

Berbagai fakta permasalahan yang dipaparkan sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan budidaya dan pengolahan kelapa rakyat yang relatif berjalan sendiri-sendiri tidak akan pernah untuk menjadikan usaha kelapa rakyat mampu untuk bersaing dipasaran. Selama ini keterlibatan Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta dalam memberdayakan usaha mikro khususnya pengolahan kelapa secara berkelanjutan sangat minim bahkan tidak ada. Seiring dengan perubahan paradigma proses belajar mengajar di kampus yang saat ini lebih dikenal dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) maka sangat dimungkinkan keterlibatan PTN maupun PTS dalam pemberdayaan usaha mikro secara berkelanjutan. Jika digambarkan secara skematis hubungan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan PEMDA dan Perbankan serta Usaha Pabrikan (Pembeli) yang berjalan saat ini tanpa keterlibatan PTN dan PTS dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

Kondisi hubungan Kelembagaan UMKM Kelapa saat ini

Terlihat bahwa Usaha Mikro difasilitasi oleh PEMDA setempat, namun dalam kaitan untuk penambahan modal usaha yang bersumber dari perbankan relatif dilakukan sendiri-sendiri secara langsung oleh Usaha Mikro. Menurut hemat kami disinilah salah satu letak titik krusial bagi UMKM untuk dibantu dan dimediasi secara berkelanjutan karena kelembahan UMKM adalah keterbatasan kemampuan manajerial termasuk perencanaan dan dokumentasi yang terkait dengan neraca usaha. Selain hal tersebut terlihat pula bahwa Usaha Mikro dengan kapasitas produksi yang sangat rendah tidak akan kuat daya tawarnya apabila berjalan sendiri, sehingga dibutuhkan sistem kelembagaan yang menghimpun usaha mikro secara terintegrasi dan berkelanjutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka melalui hasil penelitian ini ditawarkan suatu sistem kelembagaan terintegrasi yang memadukan Usaha Mikro dan Usaha Lepas Panen (Sentra) dan BUMD dalam satu sistem utuh yang dimediasi penuh oleh PTN dan atau PTS secara berkelanjutan serta difasilitasi oleh pihak PEMDA dan atau Perbankan. Secara skematis hubungan antar pelaku usaha dan fasilitator dapat dilihat pada Gambar 6 berikut :

Sistem Kelembagaan Terintegrasi Pengolahan Kelapa

Melalui skenario kelembagaan terintegrasi ini, peran BMUD adalah sangat penting dalam kaitan pemasaran produk yang bermuara eksport maupun antar daerah, sementara sentra yang berbasis ditingkat kecamatan dan UMKM ditingkat desa berada dalam satu sistem manajerial melakukan proses produksi yang dimediasi langsung oleh pihak PTN dan atau PTS. Secara spesifik peran PTN dan atau PTS berkaitan dengan pembinaan teknis produksi yang berkualitas dan mediasi secara berkelanjutan terutama aspek neraca usaha dan upaya penambahan modal melalui perbankan dan Pemerintah Daerah. Secara skematis peran PTN dan atau PTS yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa peran PTN dan atau PTS sangat sentral atau penting untuk mengawal dan memediasi kebutuhan Kelompok Usaha Mikro terutama yang berkaitan dengan kebutuhan finansial dan teknis produksi. Oleh karena itu PTN dan atau PTS yang akan berperan untuk menghubungkan dan memediasi antara Kelompok Usaha dan anggotanya dengan pihak perbankan, pihak PEMDA (Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi) serta BUMD secara berkelanjutan. Usulan sistem kelembagaan ini bermula selain didasarkan pada faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya juga didasarkan pada hasil analisis kelembagaan yang ada seperti Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) yang masih menyisahkan kelemahan-kelemahan terutama yang terkait dengan pembinaan teknis produksi yang berkualitas dan pembinaan manajerial dalam aspek neraca usaha secara berkelanjutan.

Peran PTN /PTS dalam Kelembagaan Agroindustri Kelapa Terintegrasi

Perusahaan Daerah dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sangat strategis dalam merangkul usaha mikro terutama dalam aspek manajerial dan kepastian pemasaran produk yang dihasilkan. Dengan demikian peran BUMD bukan hanya bergerak dalam bidang konstruksi seperti yang berjalan selama ini tetapi lebih memberikan penguatan terhadap produk usaha mikro yang bernilai strategis. Masih banyak hal yang seharusnya diuraikan yang berkaitan dengan peran BUMD serta kehadiran PTN dan atau PTS dalam sistem kelembagaan terintegrasi namun keterbatasan ruang sehingga tidak kami paparkan secara menyeluruh melalui media ini.

  1. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang dipaparkan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Usaha Kelapa Rakyat di Kabupaten Konawe Kepulauan diperlukan revitalisasi usaha budidaya baik dari aspek ekstensifikasi, intensifikasi maupun rehabilitasi;

b. Usaha pengolahan Kelapa Rakyat di Kabupten Konawe Kepulauan dapat diberdayakan melalui peningkatan peran dan fasilitasi antar lembaga dalam satu sistem kelembagaan terintegrasi secara berkelanjutan;

c. Peran BUMD dan Perguruan Tinggi Negeri(PTN) / Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sangat strategis dalam menumbuh kembangkan Usaha Pengolahan Kelapa Rakyat dalam pola sistem terintegrasi.