Dinasti Politik dan Politik Ranjang, Oleh : Dr. Winner Agustinus Siregar, SH., MH.

KENDARINEWS.COM — Pemilihan kepala daerah kembali akan digelar 9 Desember 2020. Keputusan menyelenggarakan pemilu ditengah situasi pandemi ini, bukanlah hal yang mudah untuk sampai pada keputusan tersebut.

Pemerintah dan penyelenggara termasuk pengawas pemilu berupaya maksimal untuk mempersiapkan hajatan tersebut sebaik-baiknya, bukan saja sisi disiplin pada tahapan yang ada, tetapi aspek pencegahan penyebarluasan diskenariokan. Jangan sampai pemilu klaster baru penyebaran virus.

Para calon peserta mulai mempersiapkan diri untuk bukan saja berlaga di pemilu lokal ini, tetapi ujian awal dimulai, dengan pertanyaan yang lain, apakah pintunya sudah dapat atau belum. Tidak banyak linimasa yang berisi informasi adanya calon perseorangan atau independen.

Tapi yang ramai dalam perpolitikan nasional terakhir ini adalah mengenai istilah dinasti politik, dan kita semua paham pemicunya kali ini, ketika pejabat eksekutif utama di republik ini mendukung anak dan menantunya mencalonkan diri sebagai calon walikota.

Dinasti Politik
Setiap perhelatan pilkada, salah satu isu yang akan terus muncul mengenai politik dinasti, begitu istilah yang akrab ditelinga kita. Meski ini adalah isu temporer terus menerus di setiap momentum pemilu nasional maupun daerah.

Meskipun jika ditelisik lebih jauh, tidak ada yang baru dari diskusi soal ini. Dalam hukum positif kita, tidak ada masalah pencalonan mereka yang dalam istilah sosial politik sebagai dinasti politik.

Suatu waktu, pasal yang dituduh sebagai celah dinasti politik digugat di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Apadaya, pasal itu dianggap biasa saja, dan bahkan pertimbangan hak asasi politik menjadi yang utama.

Tentu menarik melihat akar historisnya. Indonesia –jangan lupa, adalah kerajaan-kerajaan sebelum Indonesia merdeka, yang kemudian menjadi daerah otonomi provinsi atau kabupaten/kota seperti saat ini.

Akar sosial dan kebudayaan dinasti ini, dapat dikonfirmasi dalam beberapa segi. Paling nyata sebenarnya jika menilai dalam konteks auto kritik. Ada banyak mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri dan menganggap itu baik, dapat menghidupi keluarga, maka sebagian harapan itu dititipkan ke generasi pelanjutnya. Maka dahulu dan bahkan mungkin sekarang kita kerap mendengar istilah keluarga birokrat.

Dalam bidang usaha hal yang sama terjadi. Generasi pebisnis menyiapkan pewaris lapis dua bisnis mereka, dan itu bukan dari kalangan profesional. Tapi kerabat utama mereka. Sektor perbankan melakukan regenerasi secara umum dengan pola yang sama. Maka instilah keluarga bankir cukup akrab.

Dibidang sosial kemasyarakatan juga terjadi regenerasi dengan pola yang sama. Saya cukup mengenal banyak orang yang orang tua mereka bergiat dibidang keagamaan, menitip harapan yang sama pada anak-anak mereka. Dalam makna yang sama. Pekerjaan tersebut baik, tetap prospektus dan dapat menghidupi mereka.

Politik Ranjang
Selain soal dinasti politik, sebenarnya adapula istilah ‘politik ranjang’. Istilah ini merujuk bahwa perkawanan politik dimulai dari pernikahan kerabat politisi yang ada. Saling berbesan, beripar, karena anak-anak mereka menikah karena kemauan sendiri, atau memang perjodohan politik.

Di Sulawesi misalnya, tidak susah mengumpulkan informasi ini. Kalau kita berminat pada studi politik lokal, pada aspek pemetaan aktor, tampak bahwa memang ada kekerabatan politik yang dimulai dari ranjang. Saling berbesan, beripar. Bahkan sudah lintas provinsi terjadi. Seperti angkutan yang bermuara di pasar politik terbuka.

Disekitar kita tidak sulit memahami itu bahkan dalam lapangan sosial kemasyarakatan atau kekerabatan komunitas. Aktor-aktor tersebut biasanya akan segera bertransformasi menjadi politisi lokal, bermain usaha –kontraktor pemerintah misalnya, atau tren paling akhir disebut sebagai pemain tambang-begitu banyak orang yang mau dilabeli seperti itu.

Diantara desain dinasti politik dan politik ranjang itu, dengan kekuasaan yang mereka coba raih, dan mempertahankannya sekaligus atau menggenerasikannya, ada masyarakat atau rakyat yang menurut konstitusi dan teori punya kedaulatannya sendiri untuk memilih atau untuk tidak bersetuju.

Jadi kenapa mesti terus menerus meributkan dinasti politik? Berbeda dengan sektor keuangan, sosial, bisnis, keagamaan misalnya, meskipun ada pengaruh (influence) tetapi tidak sampai menjadi power (kekuasaan) sebagaimana hasil yang akan diperoleh ketika tergabung dalam dinasti politik tertentu.

Inilah soal besarnya, ada kekuasaan ditangan seseorang dan keluarganya. Istilah kosong-kosong lebih berkuasa dari kosong satu. Dan penumpukan kekuasaan disatu orang, kelompok, grup itu dekat dengan penyalahgunaan kekasaan, dan potensial korupsi.

Dinasti Penyelenggara
Mari berkaca lebih jauh, seumpama dan mungkin sama saja, jika momentum rekrutmen penyelenggara pemilu, muncul ‘dinasti penyelenggara’.

Istilah ini saya buat dalam suatu kesempatan ketika menjadi tim seleksi penyelenggara di tingkat kota kabupaten (pulau dan daratan di Sulawesi Tenggara). Mengkonfirmasi pengalaman saya pernah mendaftar sebagai calon penyelenggara di tingkat kota dan provinsi. Istilah kompetensi berubah makna menjadi kedekatan.

Dinasti itu (kalau boleh disebut begitu) berasal dari bukan saja dari keluarga-keluarga, tetapi organisasi-organisasi, yang atas nama rekrutmen, kaderisasi memplot kadernya untuk tampil. Dengan modal rekomendasi organisasi tempatnya pernah menempa dirinya.

Itu didukung dengan mekanisme yang memungkinkan banyak celah tidak transparan. Suatu masa tim seleksi penyelenggara pemilu di suatu kabupaten di Sulawesi Tenggara diambil alih tugasnya oleh sang pemberi mandat –penyelenggara di tingkat pusat, dengan alasan tim seleksi tersebut terbukti tidak cakap dalam melaksanakan tugas. Terlalu banyak beban di perahunya, begitu istilah seorang kawan. Di kesempatan lain, seleksi penyeleggara tingkat provinsi dilaporkan ke penyelenggara tingkat pusat karena dugaan tidak transparan dalam proses. Transparansi adalah uatu asas penting dalam penyelenggaraan pemilu. Sekaligus ruang untuk meningkatkan kualitas seleksi yang diharapkan.

Kedaulatan Rakyat
Pemilu dimanapun secara teoritis, salah satunya adalah pergantian rezim, atau variannya bisa menjadi pergantian dinasti, raja-raja kecil daerah, grup politik.

Rakyatlah yang memilih, bukan partai. Meskipun partai merupakan pihak yang menyediakan itu kadang secara mewah. Dalam realitas kita banyak berkerabat dan bertemu atas nama reuni, alumni, sekampung, sealmamater, tren organda (organisasi daerah), kira-kira kita hidup bersesuaian dengan sistem komunalisme, kekerabatan melalui adat dan kekerabatan lain yang tercipta.

Politik kita (pilkada langsung) ini, merupakan tradisi liberalisme politik, semua punya hak dan kesempatan yang sama, masalahnya adalah, kadang kita terlambat untuk memulai, kita bukan dinasti atau grup dinasti tertentu misalnya. Keberanian memasuki kompetisi ruang publik demokratis adalah bangunan dasar kesadaran warga.

Itulah antara lain peran konsultan politik, mendukung siapapun, dan tiada keberhasilan poltik yang mudah dimanapun sepanjang sejarah demokratisme. Ia merupakan kombinasi berbagai unsur –sampai yang tak terlihat. Meski sumber rekrutmen politik makin meluas, dari birokrat, pengusaha, tentara, kepolisian, agamawan, publik figur, hingga kaum muda (milenial).

Abraham Lincoln -Presiden Amerika Serikat, sang legendaris dengan ucapannya tentang demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat, dan pembela utama pembebasan dari perbudakan, serta pemersatu selatan dan utara-, dalam sejarah harus berjuang di 16 kali lowongan jabatan publik, dari pegawai agraria, kantor pos, termasuk beberapa kali gagal menjadi anggota senat hingga kemudian menjaid presiden.

Pada akhirnya dalam konteks pilkada, semua berkelindan, partai-partai tergoda dengan nama besar keluarga, marga, rumpun dan sebagainya. Atas nama elektabilitas meningkat disodori dukungan partai. Yang kesemua itu bisa dibantu dengan teknologi seperti saat ini.

Semestinya, dan seharusnya, rakyatlah penentunya. Semua calon akan diseleksi melalui pemilu, itulah saringan yang sah, demokratis, jujur dan adil, disaring di pilkada ringkasnya. Akan menjadi lain jika pemilunya melalui perwakilan misalnya.

Maka kedaulatan rakyat itu sebaiknya diguanakan secara sadar, tidak tergoda iming-iming politik uang, hak konstitusionalnya dipastikan dapat dipakai karena terjaga. Kehormatan sebagai warga negara memandang hak politiknya sesuatu yang dijamin kemerdekaannya.

Dari kita semua rakyat yang sadar, betapa pemilu penting itulah, proses akhir akan terjaga, sambil kita memperbaiki input awal kepartaian, dan proses penyelenggaraaan pemilu. Akan lain jika suatu masa tiba saatnya, kita mulai abai dengan politik karena stok calonnya itu saja, atau dari keluarga dinasti politik dan dari politik ranjang mana dia berasal.

Penutup
Anak-anak muda mesti mempersipkan diri di berbagai sisi, sambil menunggu momentum 2024, mereka seumpama energi baru bagi kabupaten/kotamu, tiada yang gratis dalam pemilu.

Maka dalam konteks dinasti politik, salah satu opsi yang perlu dipikirkan saat ini adalah diperlukannya jeda kekuasaan, misalnya menunda 1 periode, jika sang orang tuanya sedang berkuasa dan pemilu selanjutnya akan digelar, anaknya tidak diberi kesempatan untuk diperiode itu, kendati mungkin ahkamah konsitusi akan tampil dengan argumentasi yang sama, kebebasan dan hak politik. Mungkin itulah jalan keluarnya.

Sama dengan ketika legislasi diberbagai tingkat membuat perundangan tentang penggajian diri sendiri, tidak etis bila berlaku diperiode berjalan, dan mereka segera mendapat keuntungan ekonomi karenanya. Sebaiknya peraturan tentang penggajian diruang publik yang sumbernya dari pajak negara, berlaku diperiode berikutnya. Bukan anda yang buat dan anda pula yang langsung merasakan nikmatnya. Jangan lupa dalam soal-soal hak asasi manusia, ada pembatasan tertentu yang diperbolehkan. Itu sahih.

— Penulis adalah Akademisi Unsultra dan Direktur Celebes Politica Group

Tinggalkan Balasan